SinarHarapan.id – Eksekusi mati di seluruh dunia pada 2024 mencapai rekor tertinggi sejak 2015 dan Indonesia, meski tidak melakukan eksekusi mati, tetap menjadi negara penyumbang vonis mati baru yang cukup signifikan, bahkan saat negara tetangga Malaysia sedang gencar-gencarnya melakukan komutasi hukuman mati besar-besaran.
Laporan terbaru Amnesty International, Death Sentences and Executions 2024, mencatat 1.518 eksekusi mati di tahun 2024 atau peningkatan sebesar 32 persen dari jumlah 1.153 di 2023. Sebanyak 15 negara melaksanakan eksekusi mati pada 2024, yang didominasi oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Tahun 2024 merupakan periode tertinggi setelah rekor sebelumnya, 1.634, terjadi di 2015.
Terkait jumlah putusan hukuman mati, pada tahun 2024 setidaknya 2.087 vonis hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan di 46 negara, lebih rendah dari data 2023, yaitu sedikitnya 2.428 putusan di 52 negara.
Baca Juga: Amnesty International: Akhiri Impunitas, Adili Pelanggaran TNI
Tidak Ada Eksekusi, Tapi Vonis Mati
Memang Indonesia tidak melakukan eksekusi mati sejak 2016, namun vonis mati baru tetap dijatuhkan setiap tahunnya, di mana tahun 2024 pengadilan Indonesia menghukum mati sebanyak 85 pelaku pidana yang mayoritas terlibat dalam kasus narkotika. Angka ini membuat jumlah total orang yang sedang menanti hukuman mati di seluruh dunia menjadi 28.085 hingga akhir 2024.
“Apa yang dilakukan Indonesia ini semacam komitmen ganda. Di satu sisi pemerintah tidak melakukan eksekusi namun di sisi lain hakim-hakim tetap mengikuti tren global penjatuhan hukuman mati khususnya dalam kasus-kasus narkotika,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Tidak Membawa Keadilan
Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban.
“Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati,” kata Usman.
Sementara itu di Malaysia, negara yang telah menghapus pidana mati wajib untuk kejahatan serius, otoritas setempat melakukan komutasi. Mereka mengubah hukuman mati ke bentuk hukuman lain atas lebih dari seribu terpidana.
“Indonesia tidak perlu jauh-jauh untuk mencari inspirasi. Tengoklah negara tetangga Malaysia yang telah menghapuskan pidana mati untuk kejahatan yang tidak menyebabkan kematian. Dan lebih jauh mereka juga melakukan komutasi terhadap lebih 1.000 vonis mati yang telah dijatuhkan sebelumnya. Indonesia harus mencontoh Malaysia dan tidak boleh tertinggal dari negara tetangganya dalam hal hukuman mati,” tambah Usman.
Eksekusi Mati Global
Jumlah eksekusi mati pada 2024 tersebut bisa saja lebih besar karena Tiongkok di yakini melaksanakan ribuan eksekusi dan tetap menjadi negara eksekutor terbanyak di dunia. Begitu pula di Korea Utara dan Vietnam, yang di yakini masih menerapkan hukuman mati. Krisis yang sedang berlangsung di Palestina (Negara) dan Suriah membuat Amnesty International tidak dapat mengonfirmasi angka eksekusi di kedua wilayah tersebut.
Lima negara dengan jumlah eksekusi tertinggi yang tercatat pada tahun 2024 adalah Tiongkok (1.000-an), Iran (972+), Arab Saudi (345+), Irak (63+), dan Yaman (38+). Namun, untuk tahun kedua berturut-turut, jumlah negara yang melaksanakan eksekusi tetap berada di titik terendah dalam catatan Amnesty.

“Hukuman mati adalah kejahatan yang keji dan tidak memiliki tempat di dunia saat ini. Meskipun kerahasiaan terus menyelimuti pengawasan di beberapa negara yang kami yakini bertanggung jawab atas ribuan eksekusi, jelas bahwa negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati kini merupakan segelintir negara yang terisolasi,” kata Sekretaris Jendral Amnesty International, Agnès Callamard.
“Dengan hanya 15 negara yang melakukan eksekusi pada tahun 2024—jumlah terendah yang tercatat selama dua tahun berturut-turut—ini menandakan pergeseran menjauhi hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat ini,” lanjutnya.
Kawasan Paling Sering Eksekusi Mati
Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi kawasan yang paling sering melaksanakan eksekusi sepanjang 2024. Setidaknya ada delapan negara di kawasan tersebut yang melaksanakan eksekusi, yaitu Mesir, Iran, Irak, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman.
Dari delapan negara di kawasan tersebut, tiga negara yaitu Iran, Irak, dan Arab Saudi bertanggung jawab atas peningkatan jumlah eksekusi yang diketahui. Secara keseluruhan, ketiga negara ini mencatat total 1.380 eksekusi. Irak hampir melipatgandakan jumlah eksekusinya (dari setidaknya 16 menjadi setidaknya 63).
Sementara, Arab Saudi menggandakan total tahunannya (dari 172 menjadi setidaknya 345). Iran mengeksekusi 119 orang lebih banyak dibanding tahun sebelumnya (dari setidaknya 853 menjadi setidaknya 972), yang mencakup 64% dari seluruh eksekusi yang diketahui.
Asia-Pasifik, pada 2024 lima negara diketahui melaksanakan eksekusi mati, yaitu Afghanistan, Tiongkok, Korea Utara, Singapura, dan Vietnam. Jumlahnya berkurang satu negara ketimbang data 2023, yaitu enam negara.
Dari kawasan ini, Tiongkok tetap menjadi negara dengan jumlah eksekusi mati tertinggi di dunia. Namun sejauh mana pelaksanaan hukuman mati di negara tersebut masih tidak diketahui secara rinci, karena data ini diklasifikasikan sebagai rahasia negara.
Angka global yang dicatat oleh Amnesty International tidak mencakup ribuan eksekusi yang diyakini telah dilakukan di Tiongkok, serta eksekusi yang dilakukan di Vietnam dan Korea Utara, yang diyakini juga menerapkan hukuman mati secara luas.
Hukuman Mati jadi Senjata Penguasa
Sepanjang tahun 2024, Amnesty menyaksikan para pemimpin memanfaatkan hukuman mati. Dengan dalih tak terbukti bahwa hukuman itu akan meningkatkan keamanan publik. Sekaligus menanamkan ketakutan di masyarakat.
Di Amerika Serikat (AS), yang mengalami tren peningkatan eksekusi sejak berakhirnya pandemi Covid-19. Sebanyak 25 orang dieksekusi (dibandingkan 24 orang pada tahun 2023).
Presiden baru AS, Donald Trump, berulang kali menyerukan hukuman mati sebagai alat untuk melindungi masyarakat dari “pemerkosa, pembunuh, dan monster yang kejam.” Pernyataan dehumanisasi ini mempromosikan narasi palsu bahwa hukuman mati memiliki efek pencegahan yang unik terhadap kejahatan.
Sedangkan di beberapa negara di kawasan Timur Tengah, hukuman mati di gunakan untuk membungkam para pembela hak asasi manusia, pembangkang, pengunjuk rasa, lawan politik, serta kelompok etnis minoritas.
“Mereka yang berani menantang otoritas telah menghadapi hukuman paling kejam, terutama di Iran dan Arab Saudi, di sana hukuman mati di gunakan untuk membungkam mereka yang berani untuk bersuara,” kata Agnès Callamard.
Peningkatan Eksekusi untuk Pelanggaran Terkait Narkotika
Amnesty juga mencatat bahwa lebih dari 40% eksekusi mati secara global pada 2024 di lakukan secara tidak sah untuk pelanggaran terkait narkotika. Berdasarkan hukum dan standar hak asasi manusia internasional, penggunaan hukuman mati harus di batasi untuk ‘kejahatan paling serius’. Menjatuhkan hukuman mati bagi pelanggaran terkait narkotika tidak memenuhi ambang batas tersebut.
Eksekusi terkait narkotika banyak terjadi di Tiongkok, Iran, Arab Saudi, Singapura, dan, meskipun tidak dapat dikonfirmasi, kemungkinan juga di Vietnam. “Dalam banyak kasus, menjatuhkan hukuman mati bagi pelanggaran terkait narkotika terbukti berdampak secara tidak proporsional pada individu dari latar belakang yang kurang mampu, sementara tidak ada bukti bahwa hukuman ini efektif dalam mengurangi perdagangan narkotika,” kata Callamard.
“Para pemimpin yang mendukung hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkotika sebenarnya mengusulkan solusi yang tidak efektif dan melanggar hukum. Negara-negara yang mempertimbangkan untuk menerapkan hukuman mati bagi pelanggaran narkotika harus di kritik. Dan did orong untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai pusat kebijakan narkotika mereka,” lanjutnya.
Dampak Kampanye Anti-Hukuman Mati
Meskipun terjadi peningkatan eksekusi, hanya 15 negara yang di ketahui melaksanakan eksekusi mati. Ini jumlah terendah yang tercatat selama dua tahun berturut-turut. Hingga saat ini, 113 negara telah sepenuhnya menghapus hukuman mati. Dan secara keseluruhan 145 negara telah menghapuskannya dalam hukum atau praktik.
Pada 2024, Zimbabwe mengesahkan undang-undang yang menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. Untuk pertama kalinya, lebih dari dua pertiga dari seluruh negara anggota PBB memberikan suara mendukung resolusi ke-10 Majelis Umum tentang moratorium penggunaan hukuman mati. Reformasi hukuman mati di Malaysia juga menyebabkan lebih dari 1.000 orang tidak lagi menghadapi risiko eksekusi.
Selain itu, dunia menyaksikan kekuatan kampanye anti-hukuman mati. Hakamada Iwao—yang menghabiskan hampir lima dekade di sel hukuman mati di Jepang— bebas pada September 2024. Perkembangan ini berlanjut hingga 2025.
Pada Maret, Rocky Myers—seorang pria kulit hitam yang di jatuhi hukuman mati di Alabama meskipun terdapat banyak kecacatan dalam proses peradilannya—di berikan grasi. Setelah adanya seruan dari keluarga dan tim hukumnya, seorang mantan juri, aktivis lokal, serta komunitas internasional.
“Saat orang-orang memprioritaskan kampanye untuk mengakhiri hukuman mati, hasilnya benar-benar terlihat,” kata Callamard. “Meskipun ada segelintir pemimpin yang bertekad menggunakan hukuman mati sebagai senjata, arus perubahan semakin kuat. Hanya masalah waktu hingga dunia terbebas dari bayang-bayang tiang gantungan,” lanjut dia.
Indonesia Masih Terapkan Hukuman Mati
Saat semakin banyak negara meninggalkan hukuman mati, sikap Indonesia belum berubah. Pengadilan-pengadilan di Indonesia masih menjatuhkan hukuman mati. Walau pun sudah lama tidak ada eksekusi. Eksekusi mati terakhir Indonesia pada Juli 2016.
Amnesty International Indonesia mencatat bahwa pada 2024 setidaknya 85 orang di vonis hukuman mati atas 75 kasus. Sebagian besar kasus narkotika (57 kasus dengan 64 terdakwa) dan sisanya adalah kasus pembunuhan (18 kasus dengan 21 terdakwa). Sedangkan dari Januari hingga Maret 2025, majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada 21 terdakwa dari 21 kasus.
Pada 6 Maret lalu, majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan, Sumatra Utara, menjatuhkan hukuman mati terdakwa kasus narkotika.
Lalu pada sidang di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatra Utara, 17 Maret lalu. Jaksa Penuntut Umum menuntut tiga orang terdakwa hukuman mati. Dalam kasus pembunuhan seorang jurnalis dan tiga anggota keluarganya di Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Pada sidang 27 Maret, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada dua terdakwa. Dan seorang lagi penjara selama 20 tahun.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) . Yang di sahkan pada akhir tahun 2022 dan akan berlaku pada 2 Januari 2026. Masih mencantumkan pidana hukuman mati sebagai hukuman yang berlaku di Indonesia. Walau bukan lagi sebagai pidana pokok sebagaimana yang tercantum dalam KUHP lama yang masih berlaku saat ini.
Pemulangan Terpidana Mati
Kendati pemerintah beberapa waktu lalu sudah memulangkan dua terpidana mati. Yaitu Mary Jane Veloso asal Filipina dan Serge Atlaoui asal Prancis, ke negara masing-masing. Majelis hakim di pengadilan-pengadilan masih memberikan hukuman mati, sebagian besar atas kasus pelanggaran narkotika.

“Pemulangan sejumlah terpidana mati asing ke negaranya beberapa waktu lalu hanyalah keputusan yang bersifat parsial. Tidak mencerminkan perubahan sikap Indonesia atas hukuman mati. Aparat penegak hukum di pengadilan masih sering memilih hukuman mati dalam memutuskan suatu perkara narkotika ataupun pembunuhan. Seperti yang tercermin dalam tuntutan jaksa penuntut umum hingga putusan majelis hakim. Ini fakta yang patut di sesalkan,” ujar Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.
“Kami mendesak aparat penegak hukum di Indonesia untuk mengikuti tren global. Dengan menetapkan moratorium resmi atas semua eksekusi. Dan mengubah hukuman semua terpidana mati sebagai langkah awal yang esensial. Menuju penghapusan penuh hukuman yang kejam ini,” kata Wirya.
Apalagi jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri per 2024 setidaknya 157 orang. Sebagian besar di Malaysia yang sebanyak 147 orang. “Dengan menghapuskan hukuman mati di dalam negeri. Indonesia akan lebih mudah pula berkampanye membebaskan WNI yang terancam hukuman mati,” lanjutnya.