SinarHarapan.id, Jakarta – Dugaan kolusi pada pembuatan dokumen lingkungan hidup yang diduga terjadi di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten hingga kini belum ditindak lanjuti, meskipun efeknya menyebabkan kesengsaraan di masyarakat, bahkan menelan korban jiwa.

Dari 370 perusahaan yang masuk dalam kategori pengawasan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten, diketahui penerbitan dokumen terkait yang paling banyak merupakan jenis usaha pertambangan. Menurut Aktivis dari Satya Peduli Banten, sektor inilah yang memiliki aroma dugaan kolusi paling kencang.

“Dari informasi, harga jasa konsultan dalam pembuatan dokumen lingkungan hidup dibandrol mulai dari Rp 150 juta. Anggaran ini dinilai logis karena selain proses pembuatan dokumen, ada juga ekspose kepada warga dan instansi terkait. Padahal di dalamnya diduga terselip biaya-biaya ‘siluman’ bagi oknum pejabat yang diberi judul budget narasumber,” kata Direktur Eksekutif Satya Peduli Banten, Sojo Dibacca, Kamis (16/05/2024).

Biaya-biaya itu dinilai membuat harga jasa konsultan tersebut menjadi fantastis. Sojo mengungkapkan ‘titipan-titipan’ di dalam anggaran dimaksud diduga merupakan cara dalam penyampaian gratifikasi kepada oknum pejabat guna memuluskan langkah pengusaha dalam menempuh persetujuan dokumen lingkungan.

“Jadi koreksi dan masukan negatif dalam ekspose dokumen lingkungannya menjadi sangat minim dan bisa ditoleransi. Ini bahaya, karena efeknya perusaan yang lolos dari filter proses itu bisa menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak ke masyarakat,” ujarnya.

Kendati demikian Pemda diduga seolah berlindung pada keterbatasan mereka yang hingga kini belum memiliki seorangpun personel Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH).

Kepala Bidang Penataan dan Peningkatan pada DLHK Banten, Irwan Setiawan, menegaskan pihaknya tidak memiliki daya dan upaya maksimal dalam menindak pelanggar aturan seperti perusahaan yang kedapatan melakukan pencemaran.

“Harusnya ada PPLH. Sibab kebijakan dan kewenangannya ada di jabatan itu untuk memeriksa perusahaan yang melanggar. Kalau sekarang, temuan di lapangan hanya bisa direkomendasikan kepada Kementrian LHK saja. Jadi kami mah sudah capek-capek buat hasil evaluasi namun gak bisa ditindak,” kata Irwan.

Sementara itu, kondisi laut di Perairan perbatasan Kecamatan Bojonegara-Puloampel, Kabupaten Serang terpantau berwarna hitam pekat diduga tercemar limbah fly ash atau sisa pembakaran batu bara milik salah satu perusahaan.

“Ya kalau lautnya hitam begini gimana ada ikannya kang? Kalau habis hujan hitam gini lautnya. Kalau enggak salah dari gunungan limbah batu bara di situ,” ungkap Latif, salah satu Nelayan asal Cilegon sambil menunjuk kearah perusahaan limbah fly ash ketika ditemui di Bojonegara, Sabtu pekan lalu.

Persoalan pencemaran lingkungan juga terjadi di Kelurahan Kepuh Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon. Sejumlah perusahaan gula rafinasi diduga membuang limbahnya di atas lahan kosong dekat Pelabuhan Banten selama 15 tahun terakhir.

“Limbah akan mengering pada musim panas sehingga baunya tersamarkan. Namun pada musim penghujan kembali cair sehingga menyebabkan bau tak sedap kembali menyeruak. Air untuk mandi dan masak nasi terpaksa beli dari luar selama ini,” ujar Rosid, seorang warga di wilayah tersebut.

Menurutnya, limbah blotong yang dibuang oleh para sopir itu sampai saat ini tidak ada tindakan apapun, baik dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten atau pemeritah setempat.

“Sopir-sopir ini diberi kebebasan oleh pengusaha limbah untuk membuang blotong di lahan-lahan kosong daerah sana. Dan yang saya pahami tidak ada upaya dari DLHK provinsi. Setiap harinya cukup banyak dibuang di sana pada waktu dini hari,” ungkapnya.

Menurutnya, bangunan milik perusahaan yang diklaim sebagai tempat pengolahan limbah hanyalah lahan kosong yang diberi tembok keliling.

“Salah satu pekerja di sana yang merupakan supir truk. Dan anehnya lagi, mayoritas supir truk pengangkut limbah merupakan warga Ciwandan itu sendiri. Sehingga persoalan ini tidak mencuat di permukaan,” imbuhnya.

Lurah Kepuh, Suroto kepada wartawan mengakui bahwa dirinya sering mendapatkan aduan dari warga dan lembaga terkait mengenai bau dari limbah di wilayahnya.

“Ada aduan. Saya akan cek,” katanya sambil menjelaskan bahwa dia baru dua bulan dilantik menjabat Lurah Kepuh.

Persoalan lain ditemui di Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang. Sebuah lokasi bekas pertambangan galian C dituding tidak sesuai analisis mengenai
dampak lingkungan (Amdal).

Galian itu telah menelan dua orang korban jiwa warga setempat setelah tewas tenggelam di area bekas galian
yang ditinggalkan begitu saja.

“Karena bagaimana pun berbicara AMDAL kayaknya tidak sesuai. Perusahaan dengan pemukiman ini terlalu dekat, terus ditambah tidak ada batas pengaman. Toh katanya kan ada SOP yang berjalan,” tutur Ades Suntama, warga yang juga ketua Karang Taruna Desa Batukuda, Kecamatan Mancak.

Menurutnya kehadiran perusahaan tambang galian di lingkungannya tidak banyak memberikan manfaat
yang berarti. Alih-alih diuntungkan, menurutnya, justru malah menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat

Selain dianggap sebagai biang kerusakan lingkungan, juga menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat yang dipicu akibat kompensasi warga dari aktivitas pertambangan tidak merata.

Dampak lingkungan aktivitas pertambangan menimbulkan juga penyebaran polusi akibat debu yang berterbangan serta kerusakan infrastruktur jalan.

Ades menyebut ada dua ruas jalan kampung. Pamekser dan Karakcak yang rusak akibat dilalui oleh truk muatan galian yang melebihi kapasitas.

“Lalu lalang kendaraan pengangkut material tambang juga menyebabkan ceceran pasir, membuat rawan kecelakaan dan jalan rusak,” pungkasnya.

Ketua DPD LSM Gerak Indonesia Provinsi Banten Arohman
Ali, menjelaskan semua peristiwa yang merugikan lingkungan dan Masyarakat itu bersumber dari pengurusan dokumen lingkungan di DLHK Provinsi Banten.

Menurutnya, pengurusan dokumen itu kerap tak mengindahkan aturan karena diduga lebih berorientasi jadi
pundi-pundi rupiah bagi oknum aparatur pemerintah yang memiliki kewenangan menerbitkan dokumen-dokumen tersebut.

Akibatnya ya bisa kita lihat sendiri, usaha atau proyek apapun yang secara de jure sudah mengantongi dokumen lingkungan, faktanya masih tetap menyebabkan pencemaran dan bencana lingkungan,” kata
Arohman.

Ia menambahkan kasus bencana banjir di kawasan proyek yang menyebabkan salah seorang karyawan di proyek tersebut tewas beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, kecelakaan di perusahaan tersebut, sebagai salah satu hasil dari penerbitan dokumen lingkungan yang berbau kolusi. Pasalnya kata dia pihak perusahaan telah mengantongi dokumen lingkungan berupa Persetujuan Kelayakan Lingkungan Hidup (PKLH) dari DLHK Banten sebagai salah satu persyaratan dapat dilakukannya pengerjaan proyek.

Arohman juga menunjuk kasus pencemaran sungai Ciujung yang tak kunjung teratasi, juga sebagai hasil dari penerbitan dokumen lingkungan oleh pemerintah daerah khususnya dalam hal ini Pemprov Banten, yang diduga ada praktek kolusi.

“Semua industri itu kan regulasinya harus memiliki dokumen lingkungan yang harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Nah dokumen lingkungan macam apa yang kok hasilnya tetap mencemari lingkungan?” paparnya.

Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Banten Jaya (Unbaja) Serang Frebhika Sri Puji menilai perlunya aparat penegak hukum untuk menelusuri dugaan praktik kolusi atau suap dalam pengurusan dokumen lingkungan.

Menurutnya, proses pengurusan izin dokumen ini, kerap menjadi tontonan masyarakat, dimana aparat penegak hukum (APH) menemukan adanya dugaan kolusi di beberapa daerah.

“Saya kira perlu (diselidiki oleh aparat penegak hukum). Kan, ada hukum lingkungan (UU 32/ 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup),” katanya.

Ia menjelaskan, dugaan peluang terjadinya kolusi pada pengurusan izin dokumen lingkungan saat ini disebabkan
oleh kurangnya sosialisasi tentang kebijakan baru yang mengharuskan keberadaan Pertek dimaksud itu terlebih dahulu untuk mendapatkan dokumen lingkungan seperti UKP UPL atau Amdal dan atau sejenisnya.

Izin lingkungan diintegrasikan ke dalam Perizinan Berusaha sesuai UU Cipta Kerja. Izin lingkungan telah diganti dengan persetujuan lingkungan dimana persetujuan lingkungan akan dikeluarkan oleh dinas bidang lingkungan hidup di daerah, jika sudah ada persetujuan teknis (pertek) terlebih dahulu.

Jika pemrakarsa belum melengkapi Pertek, dinas lingkungan hidup tidak akan mengeluarkan rekomendasi persetujuan lingkungan dan sertifikat layak operasi (SLO).

“Jadi sekarang Persetujuan teknis sebagai dokumen pelengkap UKL UPL (upaya pengelolaan dan
pemantauan lingkungan) atau Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan,” imbuhnya.

“Kalau menurut saya kurangnya sosialisasi dan koordinasi terkait kebijakan terbaru ini, karena kebanyakan saat ini pemrakarsa belum tahu kalau harus melengkapi pertek terlebih dahulu sebelum dokumen lingkungan,” sambungnya.

Meski begitu, kata dia, potensi terjadinya kolusi juga mungkin terjadi sejak sebelum kebijakan UU Cipta Kerja berlaku, di mana hal itu dimungkinkan ketika tidak adanya pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang diajukan dan lemahnya mekanisme pemeriksaan.

Selain itu potensi praktik kolusi pada era sebelum UU Cipta Kerja juga dimungkinkan karena adanya konflik kepentingan dalam proses pemberian izin.

Ketua Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Banten Jaya, Febrhika , adanya UU Cipta Kerja, sebetulnya lebih menyederhanakan hal-hal yang selama ini dinilai relatif rumit, agar lebih efisien dan efektif.

“Bahwa Izin Lingkungan tidak dihilangkan, namun tujuan dan fungsinya diintegrasikan ke dalam Perizinan Berusaha,” imbuhnya.

Untuk diketahui, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup, Pasal 1 Ayat (2), menyebut dokumen lingkungan hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Tujuan disusunnya dokumen ini adalah untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan dari dampak yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan.

Dalam menentukan wajib atau tidaknya suatu perusahaan menyusun dokumen lingkungan tertentu, perlu dilakukan proses penapisan.

Penapisan ini dapat dilakukan dengan melihat Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan skala besaran
rencana usaha dan/atau kegiatan.

Adapun jenis-jenis dokumen lingkungan yang diperlukan dalam pengurusan Perizinan Berusaha adalah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup – upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL–UPL), surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL), dan juga ada dokumen evaluasi lingkungan hidup – dokumen pengelolaan lingkungan hidup. (Van)