SinarHarapan.id – Team Hukum Merah Putih (THMP) bersama Rumah Juang Relawan Jokowi (RJ2) menolak Amicus Curiae (AC) atau Sahabat Pengadilan yang diajukan oleh kelompok masyarakat utamanya diawali oleh Megawati Soekarno Putri selaku Ketum PDIP, lalu diikuti sejumlah Mahasiswa, Dosen, Guru Besar dan Perorangan. Istilah AC menurut hukum sah sah saja, namun menurut THMP menjadi enah apabila hal itu telah dijadikan model dalam menciptakan hukum baru. Karena sistem hukum kita Civil Law, bukan mengadopsi sistem Anglo Saxon atau sistem hukum yang lainnya.

“Untuk itu, hal-hal yang berkaitan dengan keberlakuan hukum, negara bersama-sama DPR membuat UU sebagai model dari sistem itu sendiri. Karena segala hal yang berkaitan dengan masalah masalah yang terjadi (Perkara/Sengketa) harus bersumber pada UUD, UU dan Peraturan dibawahnya sebagai hukum tertulis dan Hakim dalam memutus perkara harus bersumber dari alasan alasan itu,” kata Ketua THMP C Suhadi SH MH bersama Utje Gustaaf Patty A/n Rj2 dan Yanes Yosua Frans, kepada wartawan, minggu (21/4/2024) sambil menunjukkan surat yang ditujukan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mengadili perkara sengketa Pilpres yang diajukan oleh Capres-Cawapres nomer urut 01 dan 03.

Masalah Pilpres, menurutnya, MK telah diberi garis tegas dalam UUD 45 yang telah diamandeman, yaitu terdapat pasal 24 huruf C, yang intinya MK diberi kewenangan Mengadili Perkara Pilpres. Dan dalam pasal itu, UUD mempunyai dua turunan UU. Anlara lain; UU No. 24 tahun 2003 tentang MK dan UU No 7 tahun 2017, tentang Pemilu. Dalam UU No. 24 tahun 2003 utamanya dalam pasal 30 huruf D.
MK diberi kewenangan mengadili perkara Pilpres tentang Perselisihan hasil Pemilu. Dalam kontek perselisihan dan apa itu perselisihan, secara tegas di atur dalam UU No. 7 tahun 2017 di Pasal 473 ( 1 ) dan Pasal 475 ( 1 ), yaitu perselisihan tentang suara.

“Jadi MK dengan sistem hukum yang dianut di Indonesia yaitu, Civil Law. Hanya mengadili sengketa Pilpres yaitu, tentang Perselisihan Suara. Bukan mengakomodir kelompak masyarakat dengan cara peradilan jalanan,” papar Suhadi.

Atas dasar alasan di atas masalah AC yang dijadikan rol model Sahabat Pengadilan, menurutnya, tidak tepat. Karena UUnya mengenai masalah pemilu Pilpres dan yang dimaksud Pemilu Pilpres adalah masalah perselisihan suara, bukan pada deminsi etik, kecurangan, bansos dan lain lain.

“Wilayah itu bukan wilayah MK akan tetapi di Bawaslu dan DKPP. Hal ini termuat dalam pasal 93 huruf a dan b (1 dan 2 ) UU No. 7 tahun 2017. Dan Bawaslu pernah menerima laporan tentang Pemilu curang yaitu terkait Bansos, Etik dll, tapi tidak dapat dibuktikan kecuali narasi saja. Dan apabila apa yang menjadi kewenangan Bawaslu dan apa yang sudah dikerjakan oleh Bawaslu, MK tidak berwenang memeriksa kembali. Sebab MK bukan lembaga banting, karena MK dalam hal mengadili perkara, pertama dan terakhir (final and binding) vide UUD 45 pasal 24 huruf C dan UU MK No. 24 tahun 2009 pasal 30 huruf D,” urai Suhadi.

Sehingga dengan begitu, imbuhnya, masalah masalah kecurangan dan etik yang sekarang sedang dalam dan akan dijadikan model dalam bentuk AC, lalu MK yang dibidik untuk mengakomodir hal tersebut jelas salah dan atau tidak tepat dari segi sistem Civil Law yang hanya mengakomodir aturan aturan yang tertulis seperti UU dan dengan demikian MK bisa saja menabrak UU Pemilu yang diamanatkan dalam UUD 45 dan UU yang telah menjadi hukum positif (Ius Constitutum).

“Terkait masalah AC banyak para ahli memakai sandaran ke UU No 48 tahun 2009, pasal 5 ayat 1. Yang intinya memberi ruang pada hakim untuk menggali sumber-sumber hukum yang hidup dan berlaku di Indonesia. Menurut hemat kami tidak tepat, karena UU Pemilu sudah jelas aturannya. Dan itu perintah UU. Dan Perintah UU tidak boleh mengalahkan siapapun termasuk kemauan para Politisi, Pengamat dan Negarawan. Karena negara kita adalah negara Hukum rechts staat, bukan Negara kekuasaan, macht staat. Dan hukumnya sudah jelas yang tidak perlu ditapsirkan lagi. Sehinga AC bukan hal yang layak dipertimbangkan,” urai Suhadi.

Hal itu karena AC dimotori oleh politikus bukan masyarakat yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 UU Kehakiman, karena mereka para Polikus dan pendukungnya yang kalah Pemilu. Model yang terbangun setelah perkara mau putus, sehingga menjadi persoalan baik di Posita dan Petitum Permohonan yang sudah tidak boleh ditambah oleh Pemohon apalagi oleh Majelis Hakim, karena ada azas Ultra Petita yang mengikat MK. Wilayah AC kalaupun mau diberlakukan bukan pada MK akan tetapi Wilayah Kerja Bawaslu. AC secara hukum akan menabrak UU Pemilu. Hakim sesuai azasnya hanya terikat pada para Pihak yang berperkara ( res judikata ), dengan begitu Bu Mega (Ketum PDIP) dan para Pengaju AC bukan pihak dalam Perkara.

Tim Hukum Merah Putih merupakan Relawan yang tergabung di Rumah Juang Jokowi (RJ2) dan dalam Pilpres 2024, Rumah Juang Jokowi terafiliasi ke Pendukung dan Relawan Prabowo Gibran. ***