Network

Mahkamah Rakyat London Soroti Situasi Buruk di Papua

×

Mahkamah Rakyat London Soroti Situasi Buruk di Papua

Sebarkan artikel ini
Mahkamah Rakyat Permanen atas Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua (Permanent People's Tribunal on State and Environmental Violence in West Papua) berlangsung di Queen Mary University of London, Inggris pada 27 -29 Juni 2024. (Foto: Amnesty International Indonesia)

SinarHarapan.id –  Amnesty International Indonesia menilai Mahkamah Rakyat Permanen (Permanent People’s Tribunal)  tentang situasi Papua mencerminkan situasi di Papua yang terus memburuk.  Mahkamah Rakyat Permanen atas Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua (Permanent People’s Tribunal on State and Environmental Violence in West Papua) berlangsung di Queen Mary University of London, Inggris pada 27-29 Juni 2024.

“Temuan historis mereka menunjukkan parahnya pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan di Papua.” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menanggapi pernyataan Permanent People’s Tribunal yang berlangsung di London tersebut dalam rilis yang diterima Sinarharapan.id, Minggu (30/6).

Panel ahli mahkamah tersebut telah mendengar pernyataan dan bukti-bukti dari berbagai LSM internasional dan organisasi masyarakat sipil lokal serta kesaksian dari individu yang telah menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan di Tanah Papua.

“Mahkamah ini adalah awal yang baik untuk membuka jalan menuju keadilan di Papua dan kami berharap ini menjadi kesempatan bagi komunitas internasional untuk berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Papua, mengakui penderitaan mereka, dan mendukung perjuangan mereka untuk hak asasi manusia,” kata Usman Hamid.

Saat membacakan pernyataan akhir pada Sabtu tengah malam waktu Indonesia (29/06), tim panel menyatakan bahwa Negara Indonesia telah secara paksa mengambil tanah adat Papua melalui diskriminasi rasial, yang mengarah pada penghilangan budaya dan penindasan yang keras, termasuk penahanan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum, pengusiran, dan degradasi lingkungan. Mahkamah mendesak komunitas internasional, terutama PBB, untuk segera menanggapi situasi di Papua.

Amnesty International mengatakan inisiatif yang bertujuan untuk mengumpulkan dan mencatat – secara sistematis – informasi dari berbagai sumber tentang pelanggaran hak asasi manusia dan menempatkannya di catatan publik akan meningkatkan kesadaran publik tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, inisiatif semacam itu tidak bisa menggantikan proses investigasi yang benar dan proses akuntabilitas yang layak. Amnesty International tetap menyerukan agar Indonesia mematuhi kewajibannya untuk memastikan adanya investigasi yang independen, imparsial, menyeluruh, dan efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan tujuan membawa para pelaku yang dicurigai ke pengadilan.

“Pihak berwenang Indonesia terus-menerus gagal mengakhiri konflik yang terus merenggut nyawa warga sipil di Tanah Papua. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak berwenang untuk mengevaluasi operasi militer dan kegiatan bisnis oleh aktor korporat untuk memastikan pemulihan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua.

Masyarakat Adat Papua telah lama menderita akibat operasi militer yang telah mengakibatkan pembunuhan di luar hukum oleh kelompok bersenjata dari pihak negara maupun non-negara, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, pengungsian dan pelanggaran HAM lainnya.

Dari Januari 2018 hingga Juni 2024, Amnesty International Indonesia telah mencatat 128 pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban tewas setidaknya 236 warga sipil. Pembunuhan dilakukan oleh pasukan keamanan (81 kasus dengan 131 korban) dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan (47 kasus dengan 105 korban). Dari Februari 2023 hingga April 2024, pemerintah telah mengerahkan 6.773 personel militer dan polisi ke Papua.

Menurut pernyataan seorang pengungsi internal Papua dalam sesi ke-56 Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 21 Juni 2024, lebih dari 70.000 orang Papua telah meninggalkan rumah mereka akibat konflik yang meningkat.

“Ketidakadilan yang dialami orang-orang Papua harus diakhiri. Sudah saatnya bagi komunitas internasional untuk kian mendesak pihak berwenang Indonesia agar mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung lama di sana.”

Panel ahli terdiri dari: Teresa Almeida Cravo (Portugal), Donna Andrews (Afrika Selatan), Daniel Feierstein (Argentina), Marina Forti (Italia), Larry Lohmann (Inggris), Nello Rossi (Italia), dan Solomon Yeo (Kepulauan Solomon), demikian menurut situs web Queen Mary University of London yang menjadi tuan rumah sidang mahkamah tersebut.

Mahkamah ini diadakan oleh Permanent People’s Tribunal, sebuah lembaga internasional independen yang didedikasikan untuk menangani isu-isu kritis hak asasi manusia dan keadilan lingkungan. Sejak didirikan pada 1979, lembaga ini telah berperan penting dalam menyelidiki dan mengungkap kasus-kasus penyalahgunaan oleh negara dan perusahaan, dan memberikan suara bagi komunitas yang terpinggirkan di seluruh dunia. (nat)