SinarHarapan.id – Pernyataan Menteri Sekretaris Negara merangkap Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, sontak mengundang reaksi. Di tengah peringatan Hari Kartini, 21 April 2025, ia menanggapi santai usulan Kementerian Sosial dan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang kembali mengajukan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Menurut kami, apa salahnya juga?” ucap Prasetyo ringan kepada wartawan di Jakarta. Ia menilai bahwa penghormatan kepada presiden RI ke-2 itu adalah hal yang wajar.
Namun, bagi banyak orang—terutama para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa Orde Baru—pernyataan itu seperti garam di atas luka yang belum kering. Salah satunya adalah Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban,” ujarnya tegas. Usman melihat usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi.
Baca Juga: Amnesty International Indonesia: Stop Intimidasi TNI di Kampus
Luka yang Belum Sembuh
Reformasi 1998, yang di picu oleh krisis multidimensi dan kejatuhan Soeharto, membawa harapan besar akan demokrasi dan keadilan. Salah satu mandat utamanya adalah penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Tapi hingga lebih dari dua dekade berlalu, keadilan itu belum juga datang.
“Korban dan keluarga korban masih menunggu. Masih berharap. Tapi keadilan itu terus diulur-ulur,” kata Usman.
Amnesty mencatat bahwa sepanjang pemerintahan Soeharto, banyak kekerasan negara dilakukan secara sistematis. Mulai dari pembredelan media, penangkapan aktivis, penyiksaan, penghilangan paksa, hingga kejahatan kemanusiaan di berbagai wilayah seperti Aceh, Timor Timur, dan Papua.
Deretan Luka Kolektif
Usman menyebut satu per satu peristiwa yang hingga kini masih menjadi luka kolektif bangsa. Peristiwa 1965–1966 yang menewaskan ratusan ribu orang tanpa proses hukum. Penembakan misterius pada awal 1980-an. Pembantaian di Tanjung Priok, Talangsari, dan penghilangan aktivis menjelang kejatuhan Soeharto.
“Juga peristiwa Semanggi dan Trisakti. Itu semua adalah catatan kelam yang belum diusut tuntas,” lanjutnya.
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo sempat menyatakan bahwa negara mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini, pengakuan itu belum diiringi dengan langkah konkret menuju pemulihan dan keadilan.
Jangan Balik Arah
Usman menegaskan bahwa mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan justru berisiko menjadi upaya membalikkan arah sejarah. “Ini bukan sekadar soal gelar. Ini tentang bagaimana bangsa ini melihat masa lalunya,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa tanpa keberanian untuk mengakui dan mengoreksi kesalahan masa lalu, bangsa ini justru sedang membangun kebohongan kolektif. “Usulan itu seperti memutihkan dosa sejarah dan menghapus perjuangan para korban.”
Alih-alih mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, pemerintah di nilai seharusnya fokus pada komitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah di akui negara sendiri.
Menjaga Amanat Reformasi
Reformasi bukan sekadar pergantian rezim. Ia adalah janji kepada rakyat bahwa kekuasaan tidak akan lagi di gunakan untuk menindas, menyiksa, atau menghilangkan warga negara. Menurut Usman, menjadikan Soeharto pahlawan nasional berarti mengingkari janji itu.
“Pahlawan adalah mereka yang membela rakyat, bukan mereka yang menindasnya,” tutupnya.
Usulan ini mungkin hanyalah satu dari sekian perdebatan yang akan terus muncul dalam perjalanan bangsa. Tapi sejarah, seperti luka, tidak bisa sembuh dengan lupa. Ia hanya bisa sembuh jika di akui, di ingat, dan di perbaiki.