Kesra

Gizi di Atas Kertas, Risiko di Meja Makan

×

Gizi di Atas Kertas, Risiko di Meja Makan

Sebarkan artikel ini

Menurut Diah S. Saminarsih, pendiri sekaligus CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), masalah utama MBG saat ini terletak pada lemahnya penerapan standar keamanan pangan.

Sejak diluncurkan 6 Januari lalu, pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih memiliki sederet persoalan di lapangan.

SinarHarapan.id – Tiga bulan sudah program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan. Sejak Presiden Prabowo Subianto meluncurkannya pada 6 Januari lalu, harapan menggantung di tiap kotak makan jutaan siswa sekolah dasar di seluruh Indonesia: anak-anak yang lebih sehat, lebih fokus belajar, dan tumbuh dengan gizi seimbang.

Namun di balik harapan, terselip kenyataan yang masih jauh dari cita-cita. Di sebuah sekolah negeri di Jawa Tengah, seorang ibu dengan cemas memeluk anaknya yang mengeluh pusing setelah menyantap sarapan dari program MBG. Bukan kali pertama, dan bukan satu-satunya. Di beberapa daerah, kejadian serupa terjadi: anak-anak mengalami mual, muntah, bahkan harus ke puskesmas.

Insiden-insiden itu menggugah perhatian publik dan mengundang kekhawatiran: seberapa aman sebenarnya makanan gratis  lewat program nasional ini?

Standar yang Masih Longgar

Menurut Diah S. Saminarsih, pendiri sekaligus CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), masalah utama MBG saat ini terletak pada lemahnya penerapan standar keamanan pangan.

“Kami menemukan bahwa standar seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) belum dijalankan secara optimal,” ujar Diah dalam diskusi daring bertajuk “Evaluasi 3 Bulan MBG: Gizi Semu di Menu Sampai Tata Kelola”.

Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis Cegah 450 Ribu Kematian Akibat Diabetes

Padahal, HACCP adalah sistem krusial untuk memastikan keamanan makanan dari tahap produksi hingga konsumsi. Tanpa sistem ini, risiko kontaminasi atau kelalaian pengolahan makanan menjadi tinggi. “Bahkan petunjuk teknis dari Badan Gizi Nasional (BGN) belum memuat ketentuan yang cukup untuk mencegah hal-hal tersebut,” tambahnya.

Gizi Semu dan Makanan Ultra-Olahan

CISDI tak hanya mengkritisi keamanan, tapi juga kualitas gizi menu MBG. Dalam kajian terhadap sampel menu yang dibagikan di berbagai sekolah, 45 persen di antaranya mengandung produk makanan ultra-olahan—makanan tinggi gula, garam, dan lemak yang justru rentan memicu masalah kesehatan jangka panjang.

Susu berperisa, biskuit, dan sereal instan muncul berulang kali dalam menu. Semua itu disandingkan dengan makanan lain seperti telur, roti, dan buah. Kombinasi yang secara kasat mata terlihat lengkap, namun menyimpan bahaya terselubung. “Kita justru sedang menanam benih penyakit tidak menular seperti obesitas, bahkan pada anak-anak,” kata Diah.

Ironisnya, keberadaan produk-produk ultra-olahan ini bertentangan langsung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Pasal 200 mewajibkan pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak serta pengendalian promosi produk tersebut. Sayangnya, dalam praktik MBG, aturan ini belum menjadi acuan kuat.

Kebijakan yang Tergesa?

Sejak awal, program MBG digulirkan dengan semangat besar. Namun, evaluasi CISDI menunjukkan bahwa semangat tersebut belum diimbangi dengan kesiapan teknis. Tata kelola yang belum mapan, koordinasi antarkementerian yang tumpang tindih, dan regulasi yang masih longgar menjadi tantangan utama.

“Masih ada waktu untuk memperbaiki,” ujar Diah. Menurutnya, pemerintah perlu menyusun ulang petunjuk teknis yang lebih detail, memperkuat sistem pengawasan mutu pangan, dan merevisi komposisi menu agar benar-benar memenuhi prinsip gizi seimbang.

Suara dari Lapangan

Kritik tak hanya datang dari lembaga kebijakan. Orang tua siswa, guru, dan petugas puskesmas mulai menyuarakan keresahan mereka. Di daerah, banyak kepala sekolah yang bingung menilai apakah makanan dari penyedia sudah layak konsumsi. “Kadang datangnya pagi-pagi sekali, dalam kondisi belum tentu hangat dan segar,” ungkap seorang guru di Sumatera Barat.

Beberapa daerah mencoba berinovasi. Ada sekolah yang bekerja sama dengan dapur komunitas lokal, memastikan makanan di olah secara higienis dan berbasis pangan lokal. Namun upaya seperti ini masih minoritas.

Menuju MBG yang Lebih Sehat

Pemerintah mengemban tanggung jawab besar untuk memperbaiki MBG. Program ini tak hanya soal makan gratis—ini tentang masa depan generasi muda. “Kalau kita ingin anak-anak tumbuh sehat, jangan kita beri mereka gizi semu,” tegas Diah.

Langkah pertama adalah kesadaran untuk berubah. Langkah berikutnya adalah kebijakan yang berpihak pada keselamatan dan kesehatan anak-anak, bukan sekadar laporan keberhasilan administratif.

Dan di antara kegaduhan kritik serta sederet perbaikan, satu hal tetap nyata: anak-anak Indonesia layak mendapatkan makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menyehatkan.

Kesra

SinarHarapan.id – Laporan UNESCO menyoroti pentingnya makanan sekolah dalam menunjang pendidikan dan kesehatan. Akses terhadap makanan meningkat, tetapi kualitas…