Internasional

Indonesia dan Jalan Bebas Aktif di Panggung Global

×

Indonesia dan Jalan Bebas Aktif di Panggung Global

Sebarkan artikel ini

Wamenlu Arif Havas Oegroseno mengatakan Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang konstitusinya secara eksplisit menetapkan dasar kebijakan luar negeri.

Wamenlu RI Arif Havas Oegroseno. (Foto: PIS)

SinarHarapan.id – Komitmen Indonesia terhadap politik luar negeri “bebas dan aktif” kembali ditegaskan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ekonomi Indonesia tahun ini. Di tengah dinamika geopolitik yang kian bergejolak, prinsip ini menjadi pegangan penting bagi diplomasi Tanah Air.

“Mandiri berarti tidak berpihak pada blok mana pun, dan aktif berarti tidak tinggal diam menghadapi persoalan global,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, saat diwawancarai Klara Marie Schroeder dari Berlin Global Dialogue.

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menolak terseret dalam rivalitas blok besar. Pilihan itu melahirkan peran aktif dalam perdamaian, mulai dari mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Kongo pada 1952 hingga ikut mendirikan Gerakan Non-Blok dan ASEAN. “Kami tidak netral. Netral berarti pasif menghadapi ketidakadilan,” tegas Havas, menyinggung sikap Indonesia atas konflik Palestina.

ASEAN sebagai Penopang Stabilitas

Dalam kancah regional, ASEAN menjadi arena utama Indonesia berperan. Havas menekankan bahwa tanggung jawab menjaga perdamaian ada di kawasan itu sendiri. “Seperti halnya perang Ukraina yang menjadi tanggung jawab Eropa, di Asia Tenggara, stabilitas adalah tanggung jawab negara ASEAN,” katanya.

Indonesia, dengan ukuran ekonomi dan populasi terbesar, memikul peran khusus. “Pilihan kita memberi efek berantai di kawasan. Karena itu, kita harus menetapkan standar—menegakkan hukum internasional, mempromosikan dialog, dan memimpin inisiatif perdamaian,” ujarnya.

Negara Menengah dan Tatanan Baru

Tatanan dunia kini bergerak ke arah multipolar dengan segala instrumen yang bisa dipolitisasi. Investasi, semikonduktor, bahkan tekstil dapat menjadi alat tekanan. Namun, menurut Havas, kondisi ini justru membuka peluang bagi negara menengah.

“Sebanyak 85 persen perdagangan global terjadi di luar Amerika Serikat. Ini ruang besar bagi negara menengah seperti Indonesia, Vietnam, Brasil, atau Afrika Selatan untuk memperkuat ketahanan melalui kerja sama,” jelasnya.

Kolaborasi itu tak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga dalam sistem pembayaran alternatif dan investasi digital. Dengan hampir satu miliar penduduk, negara-negara menengah berpotensi menciptakan sistem global yang lebih seimbang.

Meredakan Rivalitas AS–Tiongkok

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi ujian besar kawasan. Havas mengingatkan, persaingan boleh saja terjadi, tetapi jangan berubah menjadi konflik.

“Ekonomi mereka saling terkait. Putusnya hubungan akan mengguncang dunia. Selain itu, melalui Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama, baik AS maupun Tiongkok sudah terikat untuk menjaga hubungan damai dengan ASEAN,” ujarnya.

Ia membalikkan cara pandang atas persoalan ini. “Pertanyaannya bukan apa yang harus Asia Tenggara lakukan, tetapi apakah AS dan Tiongkok mau menghormati kewajiban hukum mereka untuk bekerja sama secara damai,” kata Havas.

Diversifikasi untuk Pertumbuhan

Bagi Indonesia, strategi utama menghadapi ketidakpastian adalah diversifikasi. Havas menyebut upaya memperluas mitra ke Afrika dan Amerika Latin, di samping memperkuat kerja sama dengan AS, Uni Eropa, dan Tiongkok.

“Diversifikasi bukan sekadar menyebarkan risiko, tapi memastikan Indonesia punya fleksibilitas untuk memetakan jalannya sendiri,” jelasnya. Perjanjian dengan Barat memberi ruang tawar dengan Tiongkok, sementara kemitraan dengan Tiongkok memberi kepercayaan diri dalam berhubungan dengan Barat.

Di tingkat ASEAN, integrasi ekonomi digital menjadi prioritas. Havas yakin kerangka digital regional akan meningkatkan daya saing sekaligus mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal.

Ancaman di Lautan

Sebagai mantan Deputi Kedaulatan Maritim, Havas juga menyoroti tantangan Indo-Pasifik. Ia mengelompokkan ancaman maritim ke dalam tiga kategori: klasik, ilegal, dan lingkungan.

Ancaman klasik, seperti risiko perang di Selat Taiwan, tetap harus diwaspadai. Ancaman ilegal meliputi penyelundupan narkoba, senjata, hingga perdagangan manusia. Sementara itu, ancaman lingkungan datang dari perubahan iklim yang memicu banjir dan cuaca ekstrem, berdampak langsung pada masyarakat pesisir.

“Ketiga tantangan ini menuntut respons bersama antara Indonesia dan mitra regional,” ujarnya.

Dari kebijakan luar negeri hingga strategi maritim, satu benang merah terlihat: Indonesia berusaha menjaga kemandirian, sekaligus aktif membangun perdamaian. Dalam dunia yang kian tak menentu, sikap itu menjadi fondasi untuk memastikan kepentingan nasional sekaligus kontribusi bagi stabilitas global.