SinarHarapan.id – H Makawi selaku ahli waris dari H Abdul Halim dan Hj Muzenah berdasarkan Surat Keterangan waris tanggal 14 Agustus 2009 bersurat ke Komisi Yudisial RI untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili perkara No 28 PK/Pdt/2024 tertanggal 19 Juni 2024 Jo No 2130 K/ PDT/2022 tanggal 28 Juli 2022 Jo No 528/PDT/2021/PT. DKI tanggal 23 Desember 2021.

Mereka telah mengesahkan AJB-AJB yang diduga fiktif menjadi dasar terbitnya sertifikat-sertifikat. Pada 1981 PT SMR diduga secara diam-diam menguasai tanah orang tua Makawi (alm H Abdul Halim Bin H Ali) berdasarkan alas hak Akta Jual Beli yang dibuat pada Kantor PPAT Camat Koja yang kami duga tidak benar, yakni: AJB No 14/I/38/1981 tertanggal 7 Februari 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan Asikin (Pembeli); AJB No 22/I/38/1981 tertanggal 18 Februari 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan H Subuh (Pembeli); AJB No 25/I/38/1981 tertanggal 2 Maret 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan Hj Rosani (Pembeli).

“Dari AJB-AJB yang kami duga fiktif tersebut oleh PT SMR telah jadikan dasar dalam penerbitan Sertifikat HGB sebagai berikut: SHGB No 1705/Pegangsaan Dua tertanggal 9 Januari 1989 SHGB No. 187/Kelapa Gading Barat tertanggal 3 November 1990, SHGB No. 3277/Pegangsaan Dua tertanggal 3 November 1990, SHGB No 3900/ Kelapa Gading Barat tertanggal 17 Mei 1996
dan SHGB No 4496/Kelapa Gading Barat tertanggal 11 Maret 1997,” kata kuasa hukum Makawi, C Suhadi SH MH dalam keterangannya, usai berkirim surat ke KY, Rabu (17/7/2024).

Ia menduga keras jual beli yang dilakukan pada 1981 tersebut fiktif, karena orang tua Makawi (H Abdul Halim) sudah meninggal dunia pada tanggal 11 Agustus 1978, jauh sebelum Akta Jual Beli ‘fiktif’ tersebut ditandatangani.

Laporan atau surat Makawi tersebut mengacu Surat Komnasham Nomor 309/PL.00.01/VII/2024 tertanggal 11 Juli 2024, yang pada intinya menyatakan bahwa “Komnas HAM telah mempelajari materi pengaduan Saudara, dan menyarankan Saudara dapat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ke Komisi Yudisial RI, yang memiliki tugas dan fungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain itu, Saudara juga dapat melaporkan kode etik hakim ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, … dst”

Seperti diketahui, MA menolak PK nomor 28 PK/Pdt/2024 yang diajukan Makawi, padahal menurut Suhadi, pihak lawan dalam kontra memori PK, bukan menanggapi memori yang ia ajukan, tertanggal 8 Mei 2023 tapi menanggapi PK orang lain No. 430 K/Pdt/2017 tertanggal 21 juni 2017, yang tidak ada kaitannya dalam memori. Seharusnya disini Majelis PK menolak Kontra Termohon PK bukan menjadi pengacara Perusahaan. Dari sini saja ketahuan, Majelis lebih cendrung memihak kepada perusahaan dari pada menegakkan hukum. Jadi benar apa yang dikatakan salah satu dari Komisi III sumber MA dari masalah tanah. Kacau sudah.

“AJB dengan Pihak yang sudah meninggal dunia telah dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat atas nama PT dan ini merupakan tindak pidana yang sudah dilaporkan ke kepolisian dan hingga kini tak tau rimbanya,” sesal Suhadi.

Makawi juga menyesalkan, terhadap fakta-fakta yang terang berderang namun oleh Majelis PK tak mempertimbangkannya, “malah ngelantur tanpa arah dan seperti tidak paham hukum, Majelis seperti ini layaknya di skor karena kalau tidak hukum menjadk rusak. Jadi melihat keadaan ini Mahkamah Agung tidak bisa diharapkan menjadi Benteng pencari keadilan. Karena dengan alat bukti yang terang benderang saja Majelis Hakim mengabaikannya dsn kalau boleh jujur disembunyikan dan mencari cari alasan untuk menolak PK kami,” pungkasnya. ***