SinarHarapan.id – Ribuan orang di seluruh dunia berkumpul dalam aksi Jeda Iklim Global untuk menuntut divestasi proyek bahan bakar fosil baru serta yang sedang berjalan. Di Indonesia, para aktivis pun terlihat melakukan aksi di Jakarta.

Meskipun aksi global ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran iklim, namun juga penting untuk dicatat bahwa bahan bakar fosil bukanlah satu-satunya penyebab perubahan iklim; industri peternakan juga merupakan salah satu kontributor penting perubahan iklim yang mungkin sering diabaikan.

Sekitar 57% emisi gas rumah kaca berasal dari sistem pangan satu penyumbang besar terhadap perubahan iklim. Padahal, produk hewani hanya mewakili 37% jumlah protein serta 18% kalori yang dikonsumsi di seluruh dunia.

“Kita dihadapkan pada kenyataan yang mendesak, angka yang mengkhawatirkan ini menunjukkan bahwa perlunya perubahan dalam sistem pangan kita saat ini,” ungkap Among Prakosa, Manajer Kebijakan Pangan Act for Farmed Animals, koalisi organisasi perlindungan hewan Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal, yang bekerja untuk mempromosikan pilihan pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan di negara-negara bagian Selatan, termasuk di Indonesia.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Komisi EAT-Lancet, sistem pangan yang sesuai dengan tujuan lingkungan dan gizi idealnya terdiri dari dari mayoritas makanan yang berbasis nabati.

“Peralihan ke pola makan yang lebih berbasis nabati dapat mengurangi dampak lingkungan dari sistem produksi pangan sekaligus mendorong peningkatan gizi. Hal tersebut mampu memainkan peran penting dalam memitigasi tantangan lingkungan dan meningkatkan kesehatan global,” tambah Among

Memitigasi perubahan iklim melalui perubahan pola makan Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) Perserikatan Bangsa Bangsa, menggarisbawahi bahwa perubahan pola makan menjadi perihal yang penting untuk mengurangi dampak emisi yang berbahaya.

Pilihan pola makan, dengan berbasis nabati dipandang sebagai cara yang signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terkait dengan industri peternakan. Laporan IPCC mengadvokasi perubahan sistemik, dengan menggabungkan kebijakan publik dan pilihan individu, untuk mendorong penerapan pola makan nabati yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Mengurangi ketergantungan kita pada produk hewani adalah salah satu cara paling signifikan yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi terhadap masa depan planet kita. Dimulai dari perubahan di institusi kita, misalnya, dapat menjadi dasar bagi transformasi sistem pangan kita. Di Indonesia, program Nutrisi Esok Hari membantu lembaga swasta dan publik untuk mengurangi konsumsi daging dan meningkatkan kesadaran tentang dampak pilihan makanan di kalangan siswa, guru, serta juru masak, dan stakeholder lainya. Hal ini dilakukan dengan memberikan pelatihan dengan ahli gizi dan chef profesional secara gratis”, jelas Among. (rht)