SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia meminta kepada pemerintah agar memberi ruang bagi seruan #peringatandarurat oleh sejumlah masyarakat sipil dalam menanggapi keputusan Baleg DPR RI yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Ruang sipil yang bebas, tanpa ancaman, mendorong akses terhadap keadilan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Kamis (22/8).
Usman Hamid mengingatkan bahwa siapapun berhak mengutarakan pandangannya secara damai terhadap situasi negara ini, termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa.
“Protes terhadap kebijakan negara ataupun perilaku elit politik adalah hal yang wajar, sah dan dijamin dalam hukum HAM internasional,” kata Usman Hamid.
“Bahkan dalam sejarah, protes memainkan peran penting dalam memastikan hak asasi manusia ditegakkan oleh negara. Kita bisa lihat kembali aksi #reformasidikorupsi tahun 2019 yang memprotes RKUHP. Akibat protes ini, DPR waktu itu menunda pengesahan KUHP baru.
“Protes juga merupakan representasi ruang sipil yang harus dijamin kebebasannya oleh negara. Hukum internasional mewajibkan setiap negara untuk menghormati prinsip dasar hak asasi manusia seperti kebebasan berekspresi dan berserikat.
“Kami juga mendesak agar negara menghindari penggunaan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes damai. Penggunaan gas air mata, meriam air, maupun tongkat secara serampangan sering dilakukan oleh aparat dalam menanggapi protes-protes damai sebelumnya. Hal ini tidak boleh terulang.”
Pada Rabu 21 Agustus 2024, sejumlah akun media sosial masyarakat sipil di Indonesia mengunggah postingan berserukan “Peringatan Darurat.”
Seruan ini muncul setelah DPR RI membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat ambang batas suara pada Rapat Baleg 21 Agustus. Salah satu kesepakatan DPR RI terkait syarat pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur yakni minimal 20 kursi di DPRD atau 25 persen suara Pemilu DPRD.
Protes terhadap keputusan DPR RI muncul karena UUD 1945 pasal 24 C (1) menyebut bahwa putusan MK bersifat final dan tak dapat direvisi. Para pengkritik menyebut DPR telah bertindak sewenang-wenang karena mengintervensi kewenangan yudikatif. (nat)