Gaya Hidup

Film ‘Cocote Tonggo’ Kala Komedi Jadi Cermin Kehidupan Sosial

×

Film ‘Cocote Tonggo’ Kala Komedi Jadi Cermin Kehidupan Sosial

Sebarkan artikel ini

Gala Premier seru dan meriah

Murni tampak berbincang dalam sebuah adegan di film Cocote Tonggo yang diputarkan untuk ditonton sejumlah media. (SHNet/Nonnie Rering).

SinarHarapan.id — Tobali Film dan SKAK Studios, berkolaborasi melahirkan sebuah film terbaru dengan genre komedi sosial, Cocote Tonggo. Film ini resmi diperkenalkan kepada public dalam gala premier yang berlangsung seru dan meriah.

Film ini merupakan karya terbaru dari sutradara Bayu Skak dan diproduseri oleh Sahli Himawan. Cocote Tonggo dijadwalkan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 15 Mei 2025.

Film ini  soal kisah keseharian yang dekat juga dikemas dengan sentuhan humor melalui Cocote Tonggo, penonton diajak menyelami kehidupan pasangan Luki dan Murni—pasangan muda yang tinggal di kawasan padat penduduk di kota Solo.

Meski sehari-hari menjajakan jamu kesuburan, mereka menjadi sasaran omongan tetangga karena tak kunjung memiliki anak. Narasi ini berkembang menjadi cermin sosial yang menyindir lembut kebiasaan kita dalam mencampuri urusan orang lain atas nama kepedulian.

Film ini mengangkat absurditas dari hal-hal yang begitu dekat dalam keseharian, namun jarang dibicarakan secara terbuka. Konflik utama bukan hadir dari dalam rumah tangga itu sendiri, melainkan dari luar: dari suara-suara lirih para tetangga yang membentuk tekanan sosial tak terlihat, namun nyata.

Dalam film ini juga diangkat soal peran Tetangga sebagai tokoh yang tak terlihat, tapi paling berpengaruh. Salah satu sudut pandang menarik yang diangkat oleh film ini adalah bagaimana sosok tetangga—yang tak memiliki peran utama dalam cerita—sebenarnya menjadi karakter paling menentukan dalam dinamika konflik pasangan Luki dan Murni.

Dalam masyarakat Indonesia, tetangga sering menjadi semacam “pengamat pasif” yang opininya bisa lebih menentukan dari anggota keluarga sendiri. Tetangga jadi seolah punya dua arti bagai cermin bagi setiap masyarakat Indonesia: tempat mematut diri dan berbangga atau malah menghadirkan rasa takut hingga trauma.

“Kami ingin menggambarkan bagaimana tekanan sosial itu sering kali tidak datang dari orang yang kita cintai, tapi dari mereka yang bahkan tidak punya kedekatan emosional—tapi karena kita hidup berdampingan, opini mereka menjadi begitu berpengaruh,” jelas Bayu Skak, sang sutradara.

Suasana jumpa pers film Cocote Tonggo di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Jumat (9/5/2025).

Dengan balutan komedi khas Jawa yang jenaka dan mengupas banyak lapisan sosial yang sarat makna, Cocote Tonggo menyelipkan kritik sosial yang relevan: bahwa rasa penasaran yang tidak pada porsinya bisa mendatangkan bencana bagi orang lain, dan stigma hingga asumsi buruk bisa lahir dari seloroh ringan di warung sebelah. Tampak sederhana di awal, tapi bikin runyam banyak orang.

Potret Perempuan yang Selalu Salah di Mata Masyarakat

Lewat karakter Murni, yang diperankan oleh Ayushita, film ini juga menyoroti stigma yang masih kuat melekat pada perempuan yang belum hamil setelah menikah. Murni digambarkan sebagai istri yang sabar dan tulus tapi terus-menerus dianggap sebagai pihak yang bersalah dan layak dicurigai kesehatannya karena belum dikaruniai anak.

Ini sejalan dengan gambaran di masyarakat kita, beban soal keturunan sering kali ditimpakan kepada perempuan saja, seolah urusan memiliki anak adalah tanggung jawab tunggal seorang istri.

Cocote Tonggo menunjukkan bagaimana tekanan semacam ini bisa menggerus rasa percaya diri bahkan memengaruhi hubungan rumah tangga pasangan muda, bahkan ketika yang bersangkutan tidak pernah menyalahkan siapa-siapa dan tak jarang malah menyalahkan dirinya sendiri.

Film ini juga didukung jajaran aktor dan aktris Indonesia yang berhasil menghidupkan karakter-karakter dalam cerita, antara lain: Dennis Adhiswara, Ayushita, Asri Welas, Bayu Skak, Devina Aureel, Benidictus Siregar, Sundari Soekotjo, Yati Pesek, Marwoto, Firza Valaza, Tatang Gepeng, Brilliana Arfira, Ellea Candice, Fury Setya, Ika Diharjo, Maya Wulan, Putri Manjo dan banyak lagi.

Proses syuting dilakukan sepenuhnya di kota Solo, dengan lokasi-lokasi seperti Kampoeng Batik Laweyan, Lokananta, dan Colomadu. Sebagian dialog dalam film menggunakan Bahasa Jawa Mataraman khas Solo, menambah nuansa lokal yang kuat dan otentik.

Kolaborasi antara TOBALI Film dan SKAK Studios menjadi kekuatan utama dalam produksi Cocote Tonggo. Tobali Film, di bawah kepemimpinan baru Sahli Himawan, berkomitmen untuk menghadirkan film-film berkualitas yang mencerminkan nilai-nilai budaya Indonesia. Sementara itu, SKAK Studios, yang didirikan oleh Bayu Skak, dikenal dengan karya-karya yang mengangkat budaya lokal melalui cerita yang otentik.