SinarHarapan.id – Seekor komodo berselimut motif batik parang tampak “berjalan” di atas tas kain. Di sebelahnya, burung cenderawasih berwarna-warni bermandikan corak kawung. Namun semua itu bukan pameran seni rupa, melainkan hasil karya tangan mungil anak-anak Korea yang berkunjung ke booth Indonesia di National Folk Museum of Korea (NFMK), 5 Mei lalu.
Kemeriahan Hari Anak di Korea tahun ini terasa berbeda dengan kehadiran budaya Indonesia yang hadir melalui berbagai rupa: dari binatang khas, alat musik bambu, hingga permainan tradisional. “Misi utama kami adalah memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Korea, khususnya anak-anak,” ujar Zelda Wulan Kartika, Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Seoul, saat berbincang dengan Direktur NFMK, Jang Sang-Hoon, di sela acara.
Tahun ini, NFMK mengusung tema A Train Trip Around the World, dan mengundang 13 kedutaan asing untuk meramaikan Hari Anak yang diperingati pada 4–5 Mei. Indonesia menjadi satu-satunya wakil dari Asia Tenggara yang berpartisipasi. “Kami ingin anak-anak mengenal budaya dunia melalui permainan, tarian, dan pakaian tradisional,” kata Jang.
Booth Indonesia menyajikan beragam kegiatan interaktif, dengan aktivitas utama mewarnai ecobag bergambar tiga satwa endemik: komodo, orang utan, dan burung cenderawasih. Uniknya, tiap hewan dikombinasikan dengan motif batik khas seperti mega mendung, parang, dan kawung. Sebelum mulai mewarnai, anak-anak mendapat penjelasan singkat tentang hewan-hewan tersebut, filosofi batik, dan letak Indonesia di peta dunia.
Responsnya luar biasa. Lebih dari 480 anak—mayoritas warga Korea—ikut serta dalam sesi mewarnai selama dua hari. “Kami ingin anak-anak tidak hanya bermain, tapi juga belajar tentang keberagaman Indonesia,” ujar Zelda.
Usai mewarnai, anak-anak dapat mencicipi makanan ringan khas Indonesia yang telah dikenal di Korea, seperti Teh Botol Sosro, Mie Gemez, dan cokelat Beng-Beng.
Kemeriahan berlanjut dengan sesi bermain angklung dan congklak. Para orang tua tampak ikut serta, tertarik mempelajari permainan masa kecil dari Nusantara. Puncaknya terjadi pada 5 Mei saat permainan “Ular Naga Panjang” digelar di pelataran museum.
Tiga puluh anak ikut bergabung dalam dua kelompok—merah dan biru—dengan armband batik buatan butik Halo Bali di Busan sebagai penanda tim. “Anak-anak sangat antusias, dan senang bisa membawa pulang armband sebagai kenang-kenangan,” ujar salah satu relawan dari Perpika (Perhimpunan Pelajar Indonesia di Korea).
Tak hanya bermain, pengunjung juga antre di photobooth kostum. Di sana, mereka dapat mencoba busana tradisional dari Jawa, Kalimantan, hingga Sumatra. “Rasanya seperti sedang keliling Indonesia,” kata Kim Ji-eun, seorang ibu muda yang datang bersama dua anaknya.
Selama dua hari, lebih dari 27 ribu orang memadati area museum. Di tengah arus pengunjung, puluhan guru Program BIPA dan mahasiswa Indonesia turut membantu menghidupkan booth. Melalui momentum ini, KBRI Seoul menyajikan pengalaman menyeluruh—dari budaya, permainan, hingga kuliner—sebagai jendela bagi anak-anak Korea mengenal Indonesia sejak dini.
“Ini pengalaman yang menyenangkan dan berbeda!” tulis seorang anak di papan komentar yang tersedia di akhir kegiatan.
Bersama Indonesia, negara-negara yang turut meramaikan termasuk: Meksiko, Tiongkok, Peru, Czechia, Kolombia, India, Jepang, Italia, Spanyol, Hungaria, Prancis, dan Jerman. Namun di antara semua, booth Indonesia menjadi salah satu yang paling ramai diserbu pengunjung cilik—terutama karena satwa endemik bercorak batik itu.