Nasional

100 Hari Pemerintahan Baru dan HAM

×

100 Hari Pemerintahan Baru dan HAM

Sebarkan artikel ini

Kondisi HAM di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan kemunduran, menurut Amnesty International Indonesia.

SinarHarapan.id – Kondisi HAM di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan kemunduran, menurut Amnesty International Indonesia.

Selama periode ini, pelanggaran HAM terjadi melalui kebijakan dan tindakan pejabat publik.

Warga, termasuk anak-anak, menjadi korban kriminalisasi, kekerasan, dan pembunuhan. Masyarakat adat dan nelayan kehilangan hak tanah dan laut. Diskriminasi terhadap perempuan dan agama masih diterima. Vonis mati tetap dijatuhkan tanpa perbaikan.

“Situasi ini melanjutkan kemunduran dari era sebelumnya,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Pemerintahan baru tak paham pentingnya HAM,” lanjutnya.

Baca Juga: Kebebasan Septia: Kemenangan Melawan Kriminalisasi

Kemunduran ini terlihat sejak awal pemerintahan, dengan pernyataan keliru Menteri Koordinator Hukum, Yusril Ihza Mahendra, yang menyangkal pelanggaran HAM masa lalu.

“Sejarah yang adil diperlukan untuk masa depan yang benar,” ujar Usman.

Pemerintahan Baru Gagal

Pelanggaran HAM di 100 hari pertama menunjukkan kegagalan pemerintahan baru.

Kekerasan oleh aparat, seperti pembunuhan di luar hukum, terus berlanjut di bawah pemerintahan baru.

Amnesty mencatat 17 kasus pembunuhan oleh aparat, termasuk TNI dan Polri, yang menunjukkan impunitas masih ada.

Insiden seperti pembunuhan di Tangerang dan Semarang menunjukkan kelalaian aparat dalam melindungi warga.

“Pemerintahan baru tidak serius menghentikan kekerasan aparat,” kata Usman.

Kasus kekerasan ini menimbulkan ketakutan mendalam di masyarakat, tanpa akuntabilitas yang jelas.

“Pelaku harus diadili dengan hukum yang adil,” tambahnya.

Pemerintahan baru juga mengintimidasi kebebasan berekspresi, seperti penggunaan UU ITE untuk menindak kritik.

Kasus seperti ancaman penjara terhadap Septia Dwi Pertiwi mencerminkan ketidakbebasan berpendapat.

Sejak 2019, terdapat 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi, dengan banyak korban yang dihukum.

Pemerintah juga mengekang kebebasan berekspresi terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Komentar pejabat memicu pembungkaman kebebasan ekspresi,” kata Usman.

Pemerintah melanjutkan proyek pembangunan yang merugikan masyarakat adat, seperti lumbung pangan di Papua dan Sumatra Utara.

“Masyarakat adat harus di lindungi haknya,” ujar Usman.

Intimidasi dan Diskriminasi

Proyek Eco-Rempang City juga menimbulkan intimidasi terhadap warga yang mempertahankan tanah mereka.

Pemerintah tidak melindungi hak nelayan atas laut, seperti terlihat dalam proyek pagar laut yang menghalangi mereka melaut.

Diskriminasi terhadap perempuan terlihat dalam kebijakan yang mendukung poligami, yang merendahkan martabat perempuan.

Tito Karnavian mendukung kebijakan yang mengabaikan prinsip kesetaraan dalam pernikahan.

“Poligami merendahkan martabat perempuan,” kata Usman.

Intoleransi agama masih terjadi, dengan pelarangan kegiatan keagamaan oleh negara dan kelompok non-negara.

“Negara harus melindungi kebebasan beragama,” kata Usman.

Pelanggaran HAM masa lalu, seperti tragedi 1965, masih belum selesai.

“Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu,” tegas Usman.

Vonis mati tetap ada, hal ini mencerminkan kegagalan reformasi hukum.

“Indonesia harus menetapkan moratorium eksekusi mati,” kata Usman.

Meskipun Mary Jane Veloso pulang ke negerinya, Indonesia harus segera menghapus hukuman mati.

“Pemerintah harus mengikuti tren global dan mengubah hukuman mati menjadi lebih manusiawi,” tutup Usman.