SinarHarapan.id – Fenomena hijrah milenial tak hanya patut didukung, tapi juga didampingi. Bukan mereka yang punya kepentingan memanfaatkan gerakan ini tanpa mempertimbangkan aspek esensialnya.
Hijrah milenial harus menjadi gerakan anak muda yang ingin memperbaiki dirinya secara keagamaan, sosial dan kebangsaan.
Guru Besar Ilmu Tafsir Al-Quran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Jajang A. Rohmana, M.Ag. menilai sejatinya hijrah bagi generasi muda diharapkan mampu diarahkan bagaimana agar hijrah itu untuk memperkokoh nilai-nilai kebangsaan, mempererat rasa persatuan dan kesatuan di kalangan generasi muda.
“Penting disadari bahwa hijrah yang kemudian banyak melanda generasi muda itu perlu diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif, hal-hal yang lebih kontributif bagi eksistensi nilai-nilai kebangsaan di Indonesia saat ini, bukan dengan makna-makna yang bersifat politis dan inkonstitusional,” ujar Prof. Jajang A. Rohmana di Bandung, Jumat(19/5/2023).
Karena itu, kata Jajang, setidaknya ada dua hal yang perlu dibedakan guna mengajak generasi muda untuk hijrah memperkuat kecintaan kepada negara.
Pertama dari sisi pemikiran, melalui upaya penanaman kesadaran bagi generasi muda bahwa nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai kebangsaan itu sesuatu yang tidak kontradiktif.
“Islam kebangsaan adalah suatu yang selaras, yang saling mendukung satu sama lain. Kedua, tentu pewacanaan saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan aksi bagi generasi muda,” katanya.
Ia mengungkapkan, aksi bagi generasi muda upaya untuk mengajak itu adalah beragam cara. Misalnya paling utama dengan media sisal dalam bentuk video. Kemudian flyer, update update status, info-info yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan.
Juga kesadaran akan upaya untuk membela nilai-nilai nasionalisme melalui aksi-aksi nyata di lapangan serta pelibatan anak muda.
Ketua Dewan Tafkir Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) ini menilai, di era kontemporer saat ini peran ulama maupun dai sangat penting di dunia digital.
Pasalnya dunia digital tidak lagi hanya terbatas pada media-media tradisional, misalnya pengajian atau ruang-ruang mimbar keagamaan.
“Peran yang nanti akan menyentuh langsung kepada generasi muda yang secara cepat dan efektif adalah ketika para dai juga terlibat dalam penggunaan media sosial, penggunaan gadget, media media digital,” terangnya.
Selain itu, tutur Jajang, para dai maupun pemuka agama berperan sebagai agen sosial, diyakini mampu mempengaruhi pemahaman masyarakat. Sehingga konten, isi, pesan yang disampaikan baik di darat maupun di dunia maya penting untuk diisi dengan pesan-pesan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, persatuan dan kesatuan.
“Budaya yang ada masyarakat kita sejak jaman nenek moyang itu dibentuk dalam situasi bagaimana menghormati terhadap perbedaan, dibentuk oleh beragam etnik, bahasa, budaya maupun agama yang datang silih berganti. Ini yang membuat nenek moyang kita memahami, menyadari pentingnya mempertahankan , pentingnya menghormati perbedaan-perbedaan itu,” ungkapnya.
Bukan tanpa dasar, Prof. Jajang meyakini bahwa pemahaman moderat jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Sehingga konten dakwah yang mengajarkan toleransi, kedamaian dan tidak segregatif sangat relevan dengan karakter anak bangsa.
“Di Indonesia dengan kultur majemuknya sudah sangat mendarah daging, pemahaman penghormatan akan perbedaan-perbedaan, toleransi menjadi bagian penting. Ada yang menyatakan kita ini bukan orang Indonesia yang muslim, tapi muslim yang Indonesia. Ini yang jadi identitas kuat yang saya kira menjadi modal bagi warga negara,” ujarnya.
Hal ini menurutnya, tampak dalam hal penggunaan kopiah, penggunaan bahasa, penerjemahan kitab suci, bahasa-bahasa dalam dalam berdoa. Kemudian ada banyak hal lain yang membuat Islam itu menjadi lebih meng-Indonesia. Itu karena ada keselarasan antara nilai agama dan budaya bangsa Indonesia.
Untuk itu Rektor Universitas Persatuan Islam (Unipi) ini berharap sejatinya pendakwah memiliki peran dan tanggungjawab dalam menyampaikan pesan dakwah berisi kesejukan dan kedamaian, tidak provokatif.
“Bagaimanapun pesan yang disampaikan di era digital ini akan disorot dan mudah ditiru oleh masyarakat kita,” tutup Prof Jajang. (non)