NasionalNetwork

Amnesty International Indonesia: Ungkap Siapa Otak di Balik Serangan Ruang Sipil

×

Amnesty International Indonesia: Ungkap Siapa Otak di Balik Serangan Ruang Sipil

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia menyerukan kepada pemerintah untuk mengungkap otak di balik serangan terhadap kebebasan sipil yang terjadi pekan lalu. Dua aksi damai yang berlangsung di Jakarta pada 27 dan 28 September 2024 diganggu oleh sekelompok orang tidak dikenal secara represif dan intimidatif.

“Sepekan terakhir, masyarakat menyaksikan lagi sikap polisi yang tidak profesional. Kepolisian seperti merestui aksi sekelompok orang yang main hakim sendiri. Dengan cara kekerasan, kelompok itu menyerang unjuk rasa damai dan acara berkumpul yang damai dan sah,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, Senin (30/9).

Sekelompok orang terekam melakukan serangan terhadap kebebasan sipil yang dilindungi undang-undang. Antara lain terhadap Aksi Damai Global Climate Strike pada 27 September dan Diskusi Forum Tanah Air pada 28 September lalu di Jakarta.

Dua aksi damai yang berlangsung di Jakarta pada 27 dan 28 September 2024 diganggu oleh sekelompok orang tidak dikenal secara represif dan intimidatif. Ironisnya, dua kejadian tersebut disaksikan langsung oleh para aparat kepolisian yang berjaga.

Serangan pertama terjadi pada aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang dimulai di Taman Menteng pada Jumat siang 27 September 2024. Aksi ini merupakan gerakan non-partisan dan dikelola oleh orang muda dengan metode aksi nirkekerasan yang mengangkat permasalahan perubahan iklim.

Sejumlah rekaman video yang dipantau Amnesty dan informasi dari Koalisi Global Climate Strike Jakarta menunjukkan sekelompok orang tak dikenal pukul 13.30 WIB merampas alat-alat peraga aksi, termasuk patung manekin Raja Jawa, poster, banner dan alat pengeras suara milik penyelenggara aksi.

Massa aksi, yang saat itu belum memulai acara, lalu protes ke sekumpulan polisi yang berkumpul di dekat lokasi kejadian karena tidak menindak insiden tersebut.

Lalu saat aksi damai berlangsung di Jalan Sudirman pukul 14.00 WIB, massa aksi dikepung sekelompok orang tak dikenal, yang lagi-lagi merampas spanduk, poster, dan pengeras suara milik peserta aksi sambil berkali-kali meneriakkan kata “bubar!” Namun para polisi yang berjaga-jaga di dekat massa aksi membiarkan insiden itu terjadi walau ada peserta aksi meneriakkan minta tolong kepada polisi.

Pada pukul 15.00 WIB polisi malah meminta massa aksi bubar karena situasi tidak kondusif dan mengklaim kekurangan personel. Massa aksi tetap melanjutkan acara walau di tengah suasana intimidatif.

“Justru di saat seperti inilah masyarakat perlu kehadiran aparat keamanan dan juga penegak hukum untuk melindungi mereka dari tindakan main hakim sendiri sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab,” kata Usman Hamid.

“Apalagi aparat terlihat di lokasi kejadian dan terlihat membiarkan. Itu sama artinya dengan merestui perbuatan melanggar hukum. Polisi seharusnya bertugas melindungi warga yang mengekspresikan hak berpendapat-nya secara damai. Sepekan terakhir, mengapa polisi terkesan justru melindungi penyerang? Siapa dalang pelaku penyerangan pertemuan dan ekspresi damai itu?”

Aksi represif serupa kembali terjadi pada acara diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu 28 September 2024. Diskusi tersebut merupakan wadah dialog antara diaspora Indonesia dan tokoh-tokoh nasional terkait isu-isu kebangsaan. Beberapa tokoh yang hadir di antaranya Refly Harun, Abraham Samad, Said Didu, M. Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, dan Sunarko.

Namun acara tersebut disabotase oleh serangan sekelompok orang tak dikenal, yang sebagian besar memakai masker.

Tayangan video yang diakses Amnesty menunjukkan mereka merangsek ke ruang pertemuan sambil merusak panggung, menyobek backdrop, dan mematahkan tiang mikrofon. Mereka juga melakukan serangan verbal kepada para peserta dan penyelenggara diskusi dengan meneriakkan kata “bubar!” Tak lama kemudian mereka serempak keluar dari lokasi sambil ditemani sejumlah polisi.

Mirisnya, pihak kepolisian yang berada di dekat lokasi kejadian justru membiarkan insiden ini terjadi. Tidak ada pencegahan dan penangkapan di tempat oleh polisi atas kelompok penyabotase itu. Bahkan ada beberapa polisi berseragam yang terlihat bersalaman dan merangkul perwakilan kelompok tersebut di gerbang hotel setelah kejadian.

Menurut laporan media, Minggu (29/9), Polda Metro Jaya menangkap lima orang dan dua orang di antaranya sudah dinyatakan jadi tersangka peristiwa sabotase atas diskusi tersebut.

Di Jawa Tengah, sekelompok orang juga merusak tanaman dan merampas spanduk aspirasi milik petani Pundenrejo. Ini adalah serangan terhadap kebebasan sosial petani. Serangan-serangan itu jelas tidak bisa dibenarkan serta tidak boleh diberi tempat.  Di Kabupaten Pati para petani Desa Pundenrejo menerima intimidasi dari sekelompok orang yang merusak tanaman mereka dan merampas spanduk-spanduk aspirasi petani pada Minggu (29/9). Peristiwa ini terkait konflik agraria antara petani Pundenrejo dengan pihak korporasi.

Konstitusi dan hukum-hukum lain Indonesia -menjamin warganya untuk menikmati hak-hak asasi manusia, baik kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, maupun kebebasan sosial seperti bercocok tanam dan menikmati hasilnya. Itu dijamin pula oleh hukum internasional. Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.

“Kami mendesak Kapolri segera mengusut tuntas dalang dan semua pelaku intimidasi maupun aksi main hakim sendiri tersebut. Kapolri wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri,” kata Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia juga mendesak agar pemerintah mengusut pula polisi yang bukannya mencegah dan menindak para pelaku intimidasi, justru cenderung melakukan pembiaran, malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air.

“Kami juga mendesak Komisi III DPR RI segera mengevaluasi kinerja kepemimpinan kepolisian di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara menyeluruh. Evaluasi sangat penting agar negara serius menjaga hak asasi manusia secara keseluruhan.”

Amnesty International Indonesia mencatat bahwa sejak Januari 2019 hingga September 2024 terdapat sedikitnya 255 kasus intimidasi dan serangan fisik atas setidaknya 482 pembela HAM. Mereka terdiri dari aktivis, masyarakat adat, petani, akademisi, dan jurnalis. (nat)