SinarHarapan.id – Perjalanan kasus Pegi Setiawan boleh dibilang cukup melelahkan, bahkan kasus yang terjadi sejak delapan tahun yang lalu hingga sekarang masih dihiasi kabut, siapa sebenarnya yang membunuh dan memperkosa Vina dan Eky, dua sejoli yang matinya sangat mengenaskan. Pegi yang sekarang dalam jeruji besi atau Pegi lain yang masih berkeliaran di luar jangkauan hukum, entah!

Tiga DPO merupakan batu sandungan menguaknya kasus Vina dan Eky.

Dari gambaran kasus yang ada sebetulnya bukan kasus yang sulit dilancak karena tempat kejadian perkara di wilayah terbuka yaitu, jalan raya dan bukan satu lawan satu, akan tetapi dengan melibatkan orang banyak. 11 orang yang tergabung dengan geng motor untuk mengeksekusi dua orang korban Vina dan Eky (keduanya meninggal). Dari catatan peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan, pemeriksaan kali ini adalah pemeriksaan ke 2 dari pemeriksaan sebelumnya (delapan tahun yang lalu) yang hanya memproses 8 (delapan) pelaku dan sisanya 3 orang dianggap DPO oleh Polres Cirebon.

Dari PR 3 orang ini yang dinyatakan DPO, ternyata menjadi bola panas, tiba tiba kasus yang sudah cenderung adem kembali menggeliat bukan pada sisi pemerkosaannya yang tergolong “biadab” akan tetapi aktor di balik itu yang sudah di tangkap Polisi, yaitu Pegi Setiawan si tukang bangunan. Dan menurut versi penyidik, salah satu alasan penangkapan Pegi karena yang bersangkutan mengganti nama di tempat kontrakannya di Bandung, aneh!

Dalam hukum acara seseorang ditetapkan sebagai Tersangka bukan pada mengganti indentitas, akan tetapi terpenuhinya bukti permulaan yang cukup pasal 17 KUHAP. Namun terkait mengganti nama bukan merupakan alat bukti seperti yang dimaksud Polda Jabar, namun dapat digolongkan motif asalkan terpenuhinya bukti permulaannya. Karena dilapangan hukum seseorang mengganti nama dari nama sebenarnya ke nama samaran tidak digolongkan kejahatan sepanjang perbuatan itu ditujukan bukan untuk kejahatan yang merugikan orang lain.
Sehingga wajar pernyataan penyidik dianggap tidak sesuai ketentuan hukum acara. Sehingga wajar pula penyidik dianggap gamang dalam menghadapi kasus ini.

Selain minimnya alat bukti yang mengarah ke Pegi Setiawan, juga dalam catatan DPO bukan nama Pegi Setiawan akan tetepi Pegi Perong. Dua nama yang jauh beda di belakangnya. Selain nama juga wajah yang diyakini Pegi Setiawan berbeda dengan Pegi Cianjur yang banyak dimunculkan nitizen. Pegi Cianjur adalah bertato dan bertampang keren, layaknya orang berada, bukan seperti Pegi Setiawan yang berprofesi sebagai tukang bangunan dari keluarga sederhana, tentunya sulit disandingkan. Apalagi yang namanya Geng Motor, tentunya bukan anak-anak muda sembarangan yang berlatar belakang keluarga yang dari sisi ekonomi di bawah garis kecukupan. Geng motor biasanya datang dari keluarga berada dan yang berkecukupan dari sisi ekonomi.

Lalu dari keadaan ini terdapat kecenderungan penyidik salah tangkap.

Korban Salah Tangkap yang menginspirasi Penegakan Hukum pada Sengkon dan Karta (Indonesia) serta Jean Calas di Prancis.

Kasus salah tangkap yang cukup terkenal di Indonesia adalah kasus Sengkon dan Karta yang terjadi tahun 1974. Dalam catatan putusan, Sengkon dan Karta pada tahun 1974 dituduh merampok dan membunuh pasangan suami isteri, Alm Sulaiman dan Siti Haya. Dalam putusan keduanya dinyatakan bersalah dan masing-masing dijatuhi hukuman 12 tahun untuk Sengkon dan 7 tahun untuk Karta.
Dalam perjalanan panjangnya melakoni kasus itu Sengkon dan Karta yang menolak dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan, namun keduanya tidak berdaya karena Penyidik kala itu punya tips untuk mencapai tujuannya yaitu, menekan dengan cara verbal dan fisik.

Selama di dalam penjara Sengkon dan Karta menemui sang pembunuh, bernama Genul dan tidak lain adalah orang yang sama-sama di satu sel. Singkat cerita, akhirnya berkat terobosan Mahkamah Agung pada tahun 1981 di bawah pimpinan Prof Oemar Seno Aji SH telah membuka kran baru dalam dunia peradilan yang disebut PK (Peninjauan Kembali) karena kala itu Peninjauan Kembali (PK) tidak dikenal dan putusan kasasi adalah putusan terakhir yang disebut inkrah atau berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh.

Ada yang menarik dalam proses hukum Sengkon dan Karta, setelah diketahui telah terjadi salah tangkap, melalui usul Menteri Kehakiman ke Mahkamah Agung agar terlebih dahulu Sengkon dan Karta dikeluarkan dari tahanan atau istilah waktu itu skorsing yang disepakati oleh Jaksa Agung. Dan sambil menunggu upaya hukum yang belum ada aturannya Sengkon dan Karta bebas. Karena para petinggi di bidang hukum merasa, kasus Sengkon dan Karta adalah aib dalam dunia peradilan yang sesat.

Berkat terobosan Ketua MA, terbit suatu langkah hukum baru berupa “herziening“ atau dikenal dengan istilah PK (Peninjauan Kembali). Akhirnya berkat Peninjauan Kembali (PK) Sengkon dan Karta bebas dari hukuman 12 dan 7 tahun. Dan keduanya dinyatakan tidak bersalah melakukan tindak pidana Perampokan dan Pembunuhan.

Dari penggalan cerita di atas, kita dapat merenung, betapa sejarah kelam Sengkon dan Karta dalam mencari keadilan sangat dijunjung tinggi oleh Punggawa hukum kala itu, jawabannya sederhana mereka mengedepankan hati nurani pada sisi keadilan, bukan seperti sekarang yang mengedepankan kepentingan tertentu.
Dan dari peristiwa kelam wajah hukum kita pada nasib Sengkon dan Karta, seorang buruh tani yang begitu mendapat simpatik masyarakat dan Petinggi hukum, juga mengingatkan kita pada pusaran sejarah Jean Calas di Prancis pada abad 17 yang menyerupai Sengkon dan Karta berupa peristiwa hukum salah tangkap. Jean Calas, 13 Oktober 1761 (catatan; Tribune Manado, 25 Maret 2024) namun dari banyak penelusuran peristiwa kelam sejarah hukum Prancis, dimulai tahun 1762.

Calas seorang Ayah yang dituduh telah membunuh anaknya Marc-Antoine dengan tuduhan masalah Agama. Karena Calas yang Protestan tidak mau anaknya memilih keyakinannya menjadi Katolik. Atas tuduhan itu ia dihukum dengan cara yang sangat keji. Namun beberapa waktu lalu diketahui si anak meninggal karena bunuh diri dengan cara Gantung Diri. Sehingga Jean Calas yang sudah dieksekusi dan meninggal oleh Negara, dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan secara anumerta sebagai bentuk pengakuan (bersalah) pemerintah atas kesewenang-wenangan di zamannya.

Dalam sistem peradilan Prancis yang mengandalkan kekuasaan penguasa dan hukum gereja kala itu, hukum menjadi tidak terukur. Penegakan hukum hanya menjadi alat pada tataran kepentingan penguasa bukan pada tujuan dari hukum itu sendiri yang tidak berpegang kepada azas praduga tak bersalah (presumption of innocence), artinya seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan.

Calas menginspirasi kebangkitan hukum di negaranya yang sewenang wenang dengan mengedepankan kepentingan penguasa dan gereja, menjadi hukum yang modern dan mengikis kekuatan hukum gereja menjadi hukum tertulis (kodifikasi). Kesalahan yang terjadi di Prancis membuat cambuk dalam memperbaharui kehidupan dalam masalah penegakan hukum yang berlaku khususnya masalah-masalah pidana atau di Prancis terkenal dengan kode fenal yang merupakan kodifikasi hukum pidana Prancis.

Dari dua catatan sejarah kelam sisi penegakan hukum baik di Prancis dan di Indonesia nampaknya tidak segaris dalam menyikapinya. Di Prancis keadaan hukum di sana yang menganut sistem Eropa Kontinental terus mengalami perbaikan hukum. Dan beda dengan Indonesia yang terus mengalami kemunduran, utamanya masalah-masalah yang berlaku dalam tindak pidana. Isu salah tangkap bukan lagi wilayah yang haram untuk diproses.

Peristiwa Sengkon dan Karta bukan lagi menjadi cambuk untuk berbenah, akan tetapi menjadi bagian yang terus berulang. Harusnya pihak kepolisian khususnya di Serse dapat berbenahi untuk memberi kepastian hukum bagi masyarakat dengan mengedepankan prinsip kesetaraan yang baik di mata hukum
Hentikan praktek pratek yang bersifat melawan hukum. Karena pada ujungnya masyarakat semakin paham semakin mengerti, apa itu kebenaran. Karena kebenaran bukan daging anjing yang ditutupi menjadi daging ayam yang layak dimakan.

Dugaan Peradilan Semu di tangan Penyidik.

Dalam proses perkara pidana sebelum seseorang diadili, terlebih dahalu di BAP (berita acara pemeriksaan) oleh penyidik dalam rangka mencari alat bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Seiring berjalannya waktu penyidik bukan lagi berperan sebagai penyidik, akan tetapi telah mengambil domeinnya Pengadilan yaitu, melakukan Penyumpahan kepada para saksi dan ahli. Awalnya langkah ini hanya untuk mengantisipasi kalau kalau saksi tidak dapat datang karena tempat yang jauh namun, seiring berjalannya waktu langkah itu di diduga telah disalahgunakan dan dijadikan model dalam penyidikan yaitu, dengan cara hampir semua saksi disumpah dengan alasan takut tidak datang saat sidang Pengadilan. Demikian juga untuk ahli, sama di sumpah dalam tahap penyidikan. Namun ternyata cara ini sangat efektif dalam memperlancar Proses persidangan utamanya dalam menyiasati jalannya persidangan. Karena biasanya saksi dan ahli yang disumpah jarang dibacakan karena dianggap sudah sempurna keterangannya. Padahal saksi-saksi yang telah diperiksa dan disumpah belum tentu benar keterangannya, demikian juga Ahli.

Jadi BAP saksi dan ahli sudah disumpah oleh penyidik pada tahapan sidang pengadilan hanya mengamini apa yang sudah tertuang dalam BAP dalam tahap penyidikan. Dan biasanya kalau kita Protes karena ada saksi yang diduga memberi keterangan palsu juga Ahli, Hakim dengan segala kekuasaannya mengabaikan hak-hak pengacara.

Dalam suatu perkara yang pernah saya tangani, saksi itu dalam keterangannya kaitan kasus yang menjerat klien adalah saksi palsu. Namun karena sudah disumpah apapun protes kita akan diabaikan oleh hakim.
Pertanyaannya, kenapa saksi yang telah disumpah oleh (Oknum) penyidik tidak dapat dipertanggungjawabkan kehadirannya di muka sidang, karena telah disumpah, sehingga yang bersangkutan tidak wajib datang dan memberi keterangan di Pengadilan. Padahal alasan pokoknya karena takut saksi akan kena sumpah palsu. Sebab memberi keterangan di Pengadilan yang mempunyai tatacara sesuai hukum acara yang berlaku.
Langkah pertama, sebelum memberi kesaksian Saksi akan disumpah terlebih dahalu dengan menyertakan kitab suci dan Menyebut:
Demi ALLAH Saya …. Bagi yang beragama Islam. Atas nama Tuhan Saya…. Bagi yang beragama Katolik dan Kristen. Dan seterusnya.

Akibat dari sumpah itu apabila benar palsu maka saksi akan kena Pasal 242 KUHP yang diancam pada pasal ayat 1 tujuh (7) tahun dan sembilan (9) tahun. Dengan model penyidikan seperti ini kita juga kadang kaget, kok orang yang tidak ada sangkut pautnya jadi saksi dengan disumpah di hadapan penyidik. Dan menurut sumpah di depan penyidik kalaupun kita tahu akan sulit saksi yang diduga palsu untuk dilaporkan.
Pertama, keterangan seorang saksi menurut KUHAP hanya sah apabila dilakukan di depan sidang, hal ini terurai dengan jelas di pasal 185 KUHAP.

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Jadi sahnya seorang saksi sebagai alat bukti yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP adalah, saksi yang memberi keterangan di depan sidang pengadilan, bukan didepan penyidik.

Selain itu di pasal 242 KUHP ditegaskan, bahwa dari unsurnya makna 242 KUHP tentang sumpah palsu.
-Keterangan itu harus bohong atau benar.
-Keterangan harus dibawah sumpah yang merujuk kepada pasal 185 KUHAP.
-Keterangan harus didepan pengadilan
-Sudah diperingatkan oleh Majelis Agar memberi

keterangan yang benar bukan yang bohong. Barangkali dari banyak kejadian, peran penyidik yang mengambil domain Hakim perlu dipikirkan oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Mahkamah Agung untuk tidak memberi peran terkait sumpah terhadap para saksi dan ahli, karena dampaknya akhir-akhir ini menjadi roll model yang sangat membahayakan dalam penegakan hukum. Biarkan wilayah penyumpahan hanya menjadi domain pengadilan, bukan kepolisian.

Mari bercermin dari 2 kasus di atas Sengkon dan Karta serta Jeans Colas yang telah mewarnai dunia hukum ke arah yang baik karena kesalahan harus menjadi contoh untuk kebaikan, bukan sebaliknya. ***

Ditulis oleh: C Suhadi SH MH
Koordinator Team Hukum Merah Putih