SinarHarapan.id – Kementerian Luar Negeri RI bersama Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menggelar diskusi para pakar hukum humaniter internasional dengan fokus pada perang laut dan penerapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dalam situasi konflik. Diskusi berlangsung di Ruang Nusantara, Jakarta, pada 6–7 Mei 2025, sebagai bagian dari Global Initiative to Galvanise Political Commitment to International Humanitarian Law (Global IHL Initiative).
Inisiatif global ini diluncurkan pada September 2024 oleh Brasil, Tiongkok, Prancis, Yordania, Kazakhstan, Afrika Selatan, dan ICRC. Hingga kini, lebih dari 70 negara telah bergabung dalam upaya memperkuat kembali penghormatan terhadap hukum humaniter dalam konflik bersenjata, yang terbagi dalam tujuh tema fokus. Indonesia bersama Mesir dipercaya memimpin tema peperangan laut.
Tema ini dirancang untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga sipil dan infrastruktur penting dalam konflik maritim. Diskusi membedah sejumlah isu krusial, antara lain interaksi hukum perang laut dan UNCLOS, perlindungan lingkungan laut dalam konflik, hak-hak sipil di laut, serta netralitas maritim di masa perang.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Dubes L. Amrih Jinangkung, dalam kapasitasnya sebagai ketua bersama, menekankan urgensi menggali keterkaitan antara rezim hukum internasional, terutama UNCLOS 1982 dan hukum peperangan laut.
“Kajian terhadap interaksi dua rezim hukum ini masih minim, padahal sangat penting untuk menjawab tantangan perang laut modern,” ujarnya.
Amrih juga menyoroti kebutuhan untuk menyesuaikan penerapan UNCLOS dengan perkembangan teknologi militer seperti unmanned underwater vehicles (UUV), sekaligus mempertimbangkan perlindungan lingkungan laut dan hak negara pesisir yang netral.

Senada, Vincent Ochilet, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste, menilai diskusi ini datang di waktu yang tepat. Menurutnya, hukum perang laut masih didasarkan pada kerangka abad ke-20, sementara realitas maritim kini telah berubah drastis. “Negara-negara perlu memperbarui pendekatan terhadap konflik maritim agar lebih berfokus pada perlindungan kemanusiaan,” ujarnya.
Ochilet menambahkan bahwa perlakuan khusus terhadap domain maritim dalam hukum perang perlu diseimbangkan dengan aspek kemanusiaan. “Konflik di laut berdampak luas, bukan hanya bagi pelaut, tapi juga populasi sipil di daratan,” katanya.
Diskusi ini menghadirkan 17 pakar internasional di bidang hukum laut dan hukum humaniter. Mereka berbagi pandangan, pengalaman, serta pendekatan praktis dalam menghadapi tantangan kemanusiaan di medan laut. Pertemuan ini diharapkan menjadi awal dari rangkaian diskusi lanjutan antara pakar dan pemerintah untuk memperkuat penerapan hukum internasional demi melindungi manusia dalam konflik.