SinarHarapan.id – Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASKI) menyatakan secara tegas tidak akan ikut serta dalam aksi demonstrasi pada 20 Mei 2025.
Ini sejalan dengan sikap jutaan mitra pengemudi online lainnya yang memilih untuk tetap on-bid demi menghidupi keluarga.
ORASKI menilai bahwa kesejahteraan pengemudi harus diperjuangkan melalui pendekatan yang konstruktif dan rasional, bukan dengan mobilisasi politik atau tekanan jalanan.
Tekanan semacam demonstrasi ini bisa mengganggu stabilitas ekosistem transportasi online yang selama ini sudah terbentuk dan berjalan dengan baik.
Baca Juga: Demi Selamatkan Penghidupan Ojol di Indonesia
Dalam pernyataan resminya, Ketua Umum ORASKI Fahmi Maharaja menyampaikan beberapa hal.
ORASKI mendukung setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan driver online, namun tidak menyetujui usulan DPR terkait pembatasan potongan aplikasi maksimal 10%.
“Usulan tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan transportasi online. Ekosistem ini selama ini terbukti mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, bahkan di tengah tantangan ekonomi global. Jangan sampai niat baik berubah jadi blunder yang membahayakan semuanya,” ujar Fahmi.
Menurut ORASKI, urusan potongan aplikasi adalah ranah bisnis-ke-bisnis (B2B) antara aplikator dan mitranya. Pemerintah sebagai regulator seharusnya tidak masuk terlalu jauh ke dalam ruang ini.
“Kalau mau meningkatkan kesejahteraan driver, solusinya bukan dengan membatasi potongan aplikasi, tapi lewat insentif pajak, subsidi kendaraan, dan edukasi berkelanjutan. Itu yang benar-benar bisa dirasakan langsung oleh driver,” tambahnya.
Insentif
Alih-alih mengatur soal potongan aplikasi, ORASKI mendorong pemerintah dan DPR untuk fokus pada insentif nyata bagi pelaku usaha dan driver online. Insentif itu berupa penghapusan PPN dan PPh atas pembelian kendaraan operasional; potongan pajak untuk pembelian suku cadang.
Kemudian, subsidi program edukasi dan pelatihan untuk driver; pendekatan perlindungan usaha yang selama ini juga diberikan kepada taksi konvensional.
Jika pemerintah atau DPR tetap memaksakan intervensi pada regulasi tarif dan potongan yang bukan ranah kewenangannya, risiko keruntuhan seluruh ekosistem transportasi online sangat besar.
“Kalau aplikator sampai tutup karena regulasi yang tidak tepat, maka jutaan driver bisa kehilangan pekerjaan. DPR dan pemerintah harus siap menanggung akibatnya jika ini sampai terjadi,” tegas Fahmi.